Ada sesuatu yang terasa aneh ketika saya mendengar bahwa upacara peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tahun ini tidak lagi diadakan di Jakarta, melainkan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Slogan baru, "Nusantara Baru, Indonesia Maju," yang diusung dalam perayaan itu seakan menegaskan perubahan besar yang sedang berlangsung di negeri ini. Jakarta, yang selama ini menjadi pusat perayaan kemerdekaan dan simbol dari perjalanan panjang bangsa, kini tak lagi menjadi panggung utama. Seolah-olah sebuah bab dalam sejarah panjang kota ini telah ditutup tanpa kita sempat benar-benar mengucapkan selamat tinggal.
Jakarta, sebagai pusat pemerintahan selama lebih dari tujuh dekade, selalu menjadi pusat perayaan HUT RI. Sejak 1945, Monas, Istana Merdeka, dan berbagai titik penting di Jakarta menjadi saksi bisu dari setiap peringatan kemerdekaan Indonesia. Maka, ketika tahun ini upacara bendera HUT RI dipusatkan di IKN, ada perasaan kosong seperti yang saya rasakan. Ini bukan hanya tentang lokasi upacara, tetapi tentang simbolisme yang lebih dalam.
Bukan berarti saya tidak mendukung pembangunan IKN Nusantara. Saya memahami pentingnya pemerataan pembangunan dan rencana besar pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan janggal ketika Jakarta, kota yang selama ini menjadi pusat perayaan dan kebanggaan, tidak lagi menjadi tuan rumah bagi momen yang begitu bersejarah.
Rasa itu semakin nyata ketika saya mengikuti pertemuan Muker MGMP Bahasa Indonesia SMP di Perpusnas beberapa waktu lalu. Sebuah slide ditampilkan dengan mencantumkan nama "DK Jakarta," tanpa kata "Istimewa." Perubahan itu tampak sederhana, namun maknanya begitu mendalam. Jakarta, yang selama ini dikenal sebagai Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), kini hanya disebut sebagai Daerah Khusus Jakarta, tanpa gelar "Istimewa" yang selama ini melekat. Kata "Istimewa" pada namanya seolah-olah menjadi penegasan atas peran penting kota ini dalam perjalanan bangsa. Namun, kini, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta oleh Presiden Joko Widodo, perubahan ini menjadi resmi.
Pengesahan UU No. 2 Tahun 2024 pada 25 April 2024 ini tidaklah terjadi tanpa alasan. Undang-undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan serta memenuhi dan melindungi hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat, diperlukan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus.Â
Undang-undang ini juga menghormati kesejarahan, ciri khas, dan karakteristik kekhususan Jakarta. Dengan demikian, meskipun Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara, tetap ada pengakuan terhadap kekhususan kota ini dan tentu saja, Jakarta masih memegang peranan penting dalam perekonomian dan budaya nasional.
Mungkin, perasaan kehilangan ini bisa menjadi momen refleksi bagi kita. Jakarta tetaplah kota yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan nama "DK Jakarta" yang baru ini bukan berarti menghapuskan nilai-nilai istimewa yang dimilikinya. Justru, ini bisa menjadi kesempatan untuk merenungkan bagaimana Jakarta akan terus berkembang dan tetap menjadi bagian penting dari Indonesia yang merdeka. Transformasi ini adalah bagian dari perjalanan bangsa yang lebih besar.
Di sinilah letak makna yang lebih dalam dari kemerdekaan itu sendiri. Sebagai bangsa, kita belajar untuk berkembang dan beradaptasi dengan perubahan. Kemerdekaan bukan hanya tentang merayakan masa lalu, tetapi juga tentang menerima masa depan yang mungkin tidak selalu terasa nyaman. Jakarta mungkin tidak lagi menjadi pusat tetapi ia tetap menjadi simbol sejarah yang tak tergantikan. Jakarta akan tetap menjadi bagian penting dari Indonesia, dengan atau tanpa kata "Istimewa" di namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H