Hari ini aku merasa lelah, tapi bukan karena aktivitas fisik semata. Ada beban emosional yang sepertinya enggan pergi, meski aku sangat bersyukur. Ya, aku bahagia, aku benar-benar bahagia karena setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya Tuhan menganugerahkan kami tiga buah hati. Namun, rasa takut dan trauma yang melekat selama kehamilan membuat kebahagiaan ini terasa seperti meniti di atas kaca tipis---rapuh dan mengkhawatirkan.
Aku masih ingat kehamilan pertamaku, yang begitu dinanti-nantikan. Namun, kenyataan itu menghancurkan ketika aku mengalami keguguran. Dokter mengatakan harus dilakukan tindakan kuret. Aku tidak pernah menyangka, rasa kehilangan itu begitu mendalam, seolah sebagian dari diriku ikut pergi bersamanya. Setiap kali melihat ibu hamil lain, atau mendengar tangisan bayi, hati ini terasa sesak. Aku merasa gagal sebagai seorang istri, sebagai seorang perempuan. Apa yang salah dengan tubuhku?
Waktu berlalu, dan aku mencoba bangkit. Aku dan suami terus berdoa, berharap keajaiban lain datang. Puji syukur, beberapa tahun kemudian aku kembali hamil. Kali ini, rasa khawatir dan kegembiraan bercampur aduk. Setiap detik kehamilan itu penuh kecemasan, terutama karena pengalaman keguguran sebelumnya. Namun, dengan segala upaya dan dukungan dari suami serta keluarga, anak kedua kami lahir. Meski lewat operasi caesar, aku merasa berhasil melewati sebuah tantangan besar dalam hidupku. Bayi kecil itu, yang sekarang sudah berusia tiga tahun, adalah sumber kebahagiaanku. Dia adalah bukti bahwa perjuanganku tidak sia-sia.
Tapi, Tuhan memiliki rencana lain yang tidak pernah kami duga. Belum pulih secara fisik dan mental, aku kembali hamil. Kehamilan ketiga ini terasa lebih menakutkan. Aku belum benar-benar siap, baik secara jasmani maupun rohani. Operasi caesar kedua jauh lebih menyakitkan daripada yang pertama, baik saat prosesnya maupun pemulihannya. Aku merasa tubuhku seolah tidak lagi kuat menahan beban ini. Rasa sakit di perut yang seperti tak kunjung hilang, membuatku sering terjaga di malam hari, meringis menahan nyeri sambil menatap si kecil yang tidur nyenyak di sebelahku.
Hal yang lebih berat lagi, aku melihat kecemburuan di mata kakaknya. Si kakak yang dulu menjadi pusat perhatian, kini harus berbagi cinta dengan adiknya yang baru lahir. Setiap kali dia menangis karena merasa diabaikan, hatiku terasa hancur. Aku tahu itu bukan salahnya, dia masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Tapi melihatnya marah dan menolak untuk dekat dengan adiknya, membuat aku merasa gagal sebagai seorang ibu.
Aku juga tak bisa lupa masa baby blues yang pernah kualami. Perasaan lelah, kewalahan, dan kesepian menghantui hari-hariku saat itu. Aku takut, sangat takut jika harus menghadapinya lagi. Apakah aku cukup kuat untuk melewati ini semua?
Terkadang aku berpikir, apakah aku akan merasakan ketakutan yang sama jika aku lebih siap secara mental dan fisik sebelum menikah?Â
Pernikahan itu bukan hanya tentang cinta dan komitmen, tapi juga kesiapan untuk menghadapi segala cobaan yang mungkin datang. Kehamilan, menjadi orang tua, semua itu membutuhkan kekuatan yang tidak hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari hati dan pikiran. Setiap kehamilan, setiap kelahiran, membawa cerita yang berbeda dan setiap cerita itu meninggalkan jejak yang tak mudah hilang. Aku belajar bahwa kita harus benar-benar siap, bukan hanya secara fisik tapi juga mental.
Tuhan memberi kami hadiah yang begitu indah, namun dengan itu datanglah tanggung jawab dan perjuangan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku bersyukur atas segala yang telah aku lalui, meski itu berarti harus melalui rasa sakit yang begitu dalam. Pada akhirnya, setiap rasa sakit itu sepadan dengan tawa dan senyuman anak-anakku.
Satu hal yang pasti, aku tak bisa melewati ini semua tanpa dukungan mereka yang ada di sekitarku. Dukungan dari suami dan keluarga sungguh menjadi penyelamatku. Suamiku, meski sama lelahnya, tak pernah berhenti memberikan semangat. Dia mengerti bahwa aku tidak hanya butuh bantuan fisik, tapi juga dukungan emosional. Ketika aku merasa ingin menyerah, dia selalu ada untuk mengingatkan bahwa kita sudah sejauh ini, dan kita bisa melewatinya bersama.