"Mereka ada di tempat yang jauh, Nak. Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi," jawabnya sambil mengelus rambut cucunya yang mulai kusam.
Cucunya tersenyum kecil, mungkin membayangkan pertemuan yang indah dengan ayah dan ibunya. Tapi lelaki tua itu tahu, pertemuan itu hanya akan terjadi di tempat di mana rasa lapar tak lagi ada.
***
Esok harinya, sinar matahari pagi menembus celah dinding yang rapuh. Lelaki tua itu terbangun dengan napas yang lebih berat dari biasanya. Tubuhnya semakin melemah, dan ia tahu, hari ini mungkin menjadi hari terakhirnya. Namun, sebelum meninggalkan dunia ini, ada satu hal yang ingin ia lakukan.
Dengan sisa tenaganya, ia menuliskan sebuah surat. Tangan tuanya gemetar saat menorehkan kata-kata di atas kertas yang kusam. Surat itu bukan untuk siapa-siapa, karena ia tahu, tak ada yang akan membaca surat itu. Namun, menulisnya adalah satu-satunya cara untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini.
"Untuk siapapun yang menemukanku," tulisnya dengan goresan yang lemah, "aku adalah satu dari banyak yang pergi karena perut kosong. Jangan biarkan yang lain mengikuti jejakku."
Setelah menulis surat itu, ia menaruhnya di atas meja, di tempat yang mudah dilihat oleh siapapun yang datang. Kemudian ia kembali ke ranjang, menggenggam tangan cucunya untuk terakhir kalinya. "Maafkan kakek, Nak... Maafkan aku."
***
Kembali ke hari ini, di mana senja semakin meredup, lelaki tua itu masih berbaring, menanti akhir yang sudah di depan mata. Napasnya semakin berat, namun ia tak melepaskan genggamannya dari tangan cucunya. Ia ingin ada di sisi cucunya sampai napas terakhirnya.
"Kek, Aku sudah tidak lapar, Kek," kata cucunya dengan suara yang semakin lemah.
Lelaki tua itu menatap mata cucunya yang mulai kehilangan sinarnya. Ada sesuatu yang retak di dalam hatinya. "Kamu akan segera bertemu dengan Ayah dan Ibu, Nak," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
***
Senja telah berganti malam ketika pintu rumah itu diketuk oleh tetangga yang datang membawa sedikit makanan. Tapi semuanya sudah terlambat. Ketika mereka menemukan lelaki tua itu, tubuhnya telah kaku. Di sampingnya, cucunya juga terbaring tak bernyawa, masih menggenggam erat tangan kakeknya.
Di atas meja, surat itu masih tergeletak. Namun, isinya tak pernah dibaca oleh siapapun. Angin yang masuk dari celah dinding meniup surat itu ke lantai, di mana ia terkubur oleh debu waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H