Ayah Rani menggeleng pelan. "Cinta saja tidak cukup, Bagas. Kalian berdua akan terus menghadapi konflik karena perbedaan ini."
---
Aku mengingat kembali saat pertama kali bertemu Rani, saat senja Jakarta menciptakan bayang-bayang panjang di jalanan. Dia berdiri di sana, dengan buku di tangan dan senyum yang menyilaukan. Aku terpikat sejak saat itu, dan seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Namun, perbedaan kami selalu menjadi bayang-bayang gelap di hubungan kami.
---
"Kita coba lagi, Rani," kataku putus asa. "Kita bisa buktikan pada mereka bahwa cinta kita lebih kuat dari semua perbedaan ini."
Rani menggeleng pelan, air mata mengalir di pipinya. "Aku sudah lelah, Bagas. Aku lelah harus selalu berjuang sendirian. Keluargamu juga tidak pernah bisa menerima aku."
Kata-katanya menusuk seperti belati. Aku terdiam, tak mampu berkata-kata. Di kejauhan, suara adzan berkumandang, mengisi senja dengan ketenangan walau ada badai dalam hati kami.
---
Pagi itu, aku duduk di kafe tempat biasa kami bertemu. Rani datang dengan wajah serius, berbeda dari biasanya. "Kita harus bicara," katanya tanpa basa-basi.
Aku tahu ini bukan pembicaraan biasa. Aku merasakan beban di udara. "Ada apa, Rani?"
"Aku bertemu dengan Arif," katanya pelan. "Dia berbeda, Bagas. Dia... dia mengerti aku. Keluarganya juga menerima aku apa adanya."