Saat masih sekolah saya memiliki cita-cita hidup yang sangat ideal menurut versi saya yaitu menikah dengan seorang laki-laki yang penyabar di usia 25 dan mempunyai anak kembar perempuan. Saya sudah membayangkan bagaimana nanti akan mendandani anak kembar saya, mulai dari menguncir rambut, memilih model, dan warna pakaian yang nanti mereka kenakan. Namun, seiring berjalannya waktu cita-cita itu sudah menjadi tidak masuk akal lagi bagi saya dan tidak bisa terwujud semua.
Pada kenyataannya saya menemukan sang pujaan hati yang penyabar di usia 27. Setelah menjalani masa pacaran selama kurang lebih lima tahun akhirnya di tahun 2016 kami memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, saat itu usia saya sudah menginjak kepala tiga, tepatnya 32 tahun. Harapan dan doa keluarga pada umumnya tentu saja setelah menikah kami akan segera dianugerahi momongan konon katanya agar lengkaplah kebahagiaan dalam rumah tangga kami. Ya.. kami amini saja harapan dan doa keluarga itu.
Di tahun pertama pernikahan, pertanyaan dan pernyataan : kapan punya anak? Kok belum? Anaknya sudah berapa? Ga mau buru-buru punya anak ya dll. tidak menggangu pikiran saya. Di tahun kedua, hal tersebut sudah mulai mengusik dan menciptakan kekhawatiran.Â
Menurut sumber-sumber yang saya baca, perempuan yang menikah di usia 30-an akan beresiko melahirkan anak. Entah itu akan mengancam nyawa sang ibu atau kemungkinan besar akan melahirkan bayi dengan down syndrome. Maka saya mengusulkan kepada suami berbagai upaya yang harus kami lakukan agar dapat segera  memiliki anak. Mulai dari pijat, mengonsumsi vitamin, madu, jamu, merilekskan pikiran, berkonsultasi ke dokter kandungan, berdoa dll.
Di tahun ketiga, segala usaha dan doa tampaknya berbuah hasil. Saat diperiksa melalui USG, betapa gembira hati kami karena terdeteksi ada janin yang tumbuh dalam perut saya. Tidak ingin menyimpan sendiri kami bagikanlah berita sukacita ini pada keluarga.Â
Banyak pesan yang saya terima: tidak boleh kecapean, tidak boleh naik motor, dll. Â Semua pesan tidak saya abaikan tapi, saya juga tidak bisa hanya berpangku tangan. Maka saya tetap bekerja dengan gerakan yang terbatas karena menjaga calon bayi dalam kandungan.Â
Beberapa waktu berikutnya kami datang lagi untuk periksa ke dokter. Tanpa basa-basi dokter langsung menyatakan bahwa janin dalam perut saya tidak berkembang, tidak ada denyut jantung dan harus dilakukan operasi kuret.Â
Melihat kekagetan di wajah kami. Dokter menyarankan untuk periksa ke rumah sakit lain jika kami masih ragu dengan diagnosisnya. Kami memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah sakit lain dan langsung diperiksa oleh dua dokter kandungan secara bergantian. Diagnosis mereka sama, tidak ada denyut jantung dan harus segera dilakukan operasi kuret.
Kami pulang dengan perasaan campur aduk. Saya membayangkan ruangan operasi yang biasanya hanya dilihat di drama-drama korea yang saya tonton, darah yang mengalir setelah kuret (katanya), juga hal-hal horor lain tentang keguguran dan kuret yang belum pernah saya alami. Ketakutan-ketakutan itu membuat kami lambat bertindak. Semakin lama perut saya semakin sakit dan mengeluarkan flek-flek coklat. Tanpa berpikir panjang lagi suami memutuskan agar dilakukan operasi kuret.
Operasi pun dilaksanakan dengan lancar. Bersyukur masa pemulihan sangat cepat berkat obat yang luar biasa. Satu hari pasca operasi saya sudah bisa beraktivitas. Ada perasaan insecure  bila bertemu dengan teman dan kerabat karena tak bisa menjaga kehamilan dengan baik.Â