Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kerudung

10 Januari 2014   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kerudung

oleh: Ma`mar

Amri agak terkejut ketika ibunya minta diantar ke dokter. Sangat tidak biasa memang. Bulan lalu saja, ketika batuk ibunya begitu parah sampai susah tidur seminggu, ibunya masih mengandalkan obat cair beli dari warung. Tiap kali Amri memaksa tapi jawabannya selalu sama: "Ini batuk biasa. Besok juga sembuh."Ancaman Amri nanti bisa jadi terkena paru-paru basah sama sekali tidak dihiraukan. "Lu nyumpaihin gua kena paru-paru?" Amri jelas bungkam kalau kalimat itu terlontar.

Entah lantaran apa, yang jelas setelah dijenguk oleh dua teman pengajiannya, Bu Mus dan Bu Siti, ibu Amri menyuruh anaknya lekas menghidupkan motor.

"Bener dokter sekarang udah gak nyuntik, Am?"

"Ratusan kali Amri bilang begitu, kan?"

"Awas lu bohong sama mak sendiri, Am!"

Amri hanya menggelengkan kepala. Ujung bibirnya membentuk senyum. Dia kenal betul watak wanita yang melahirkannya ini. Ceplas ceplos dan terkesan galak. Tapi layaknya sebagian besar ibu mana pun di belahan dunia, Taslimah sangat perhatian. Maklum Amri adalah anak satu-satunya. Maka dari itu Amri tidak meladeni setiap nada kalimat kasar khas ibunya. Apalagi sejak kemarin suhu tubuh Taslimah mendadak naik. Sanmol tablet yang biasanya ampuh, tidak berfungsi dengan baik kali ini.

Amri bergegas. Jaket yang tersampir di balik pintu diberikan ke Taslimah. Amri khawatir angin jalanan membuat parah penyakit ibunya saat dibonceng motor.

"Gak usah pake jaket. Emang gua tukang ojek?"Desis Taslimah sembari melempar jaket ke banku meja makan.

"Angin, Mak."

"Kalo tau anginbahaya, ya bawa motornya pelan-pelan!"

Untuk kedua kalinya Amri menarik napas agak dalam. Dan dia yakin ini bukan yang terakhir.Tidak apa-apa lah, setidaknya tidak perlu cape menyuruh berobat seperti biasa, batin Amri berbisik. Setelah mengucap Basmalah agak keras supaya ibunya dengar, Amri membawa motor dengan kecepatan tidak lebih dari 30km/jam.

Di ruang tunggu dokter terlihat Taslimah merapatkan kedua tangannya ke perut.Tanpa konfirmasi Amri membuka jaketnya dan menaruh tepat di pundak ibunya. Kali ini tidak ada bantahan. Ibunya malah merapatkan jaket itu biar lebih erat ke tubuhnya. Mungkin lantaran ruangan ber-AC.

Sepintas Amri melirik nomor urut, masih lumayan lama, lima nomer lagi. Merasa ibunya sudah agak jinak, Amri mencoba bertanya sekedar membunuh waktu. "Tumben Mak mau ke dokter tanpa disuruh."

Meski wajah Taslimah terlihat agak merah karena suhu tabuhnya naik, ada sedikit senyum mendengar pertanyaan anaknya.

"Dua teman Mak yang nengokin tadi bilang, di pengajian kemarin yang Mak gak dateng, ada Caleg yang bagi-bagiin kerudung. Itu yang dipake Bu Mus sama Bu Siti, warna biru, tau kan? Bahannya sih biasa aja. Tapi modelnya mak belum punya. Kalau mak gak punya kan rasanya gimana. Ah, nyesel!!"

"Terus hubungan sama mak mau ke dokter apa?

"Di pengajian hari sabtu, di rumah Ustazah Maimunah, katanya ada caleg lain yang mau dateng. Berarti mak ada waktu empat hari untuk baek dari ini penyakit. Mak mau dapet kerudung juga, Am!"

Dugaan Amri akan kembali menarik napas agak dalam akhirnya terbukti.

"Emang mak tau apa itu caleg?"

"Tau lah!"

"Apa?"

"Orang yang bagiin kerudung."

Amri tidak jadi tertawa lantaran dua orang yang disampingnya ternyata menguping pembicaraan mereka. Dua wanita yang dari pakaiannya seperti pegawai negeri itu cekikikan sambil memicing ke Taslimah. Amri tidak peduli. Dia lebih konsen pada penyakit ibunya. Dengan lembut dia mengusap punggung ibunya beberapa kali.

"Caleg itu calon legislatif, mak. Sebentar lagi Pemilu. Jadi mereka calon pemimpin kita. Caleg bagiin kerudung biar yang dapet milih dia nanti waktu pemilihan. Jadi harus hati-hati, mak."

"Hati-hati gimana maksudnya?"

"Ya mak harus kenal sama itu caleg. Bagus gak untuk mimpin.Kalau asal pilih cuma karena dikasih kerudung padahal itu caleg gak bener, nanti dosa."

"Gua gak ngerti omongan lu, Am. Bodo amat! Yang pasti mak berobat biar dapet kerudung. Nanti bisa seragam kalau mau kemana-mana sama temen pengajian. Malu Am, malu kalo kemana-mana laen sendiri. Masalah dosa gak usah ceramahin mak lu, Am. Rajinan gua ngaji sama lu!"

Namun percakapan yang mulai panas itu terpotong oleh panggilan nomer urut.

Pengajian yang diikuti Taslimah memang terbilang aktif. Maksudnya sering ikut acara-acara yang melibatkan keseluruhan jamaah. Seperti menjadi audiens di stasiun tivi acara ceramah Mamah Dedeh atau ustadz-ustadz terkenal lainnya. Di setiap acara itu pasti pakai seragam. Masuk akal bila koleksi gamis dan kerudung seragam Taslimah lumayan banyak. Soalnya ya itu tadi, tidak pantas rasanya kalau tiap ikut acara pakai seragam yang sama.

Dokter menyimpulan bahwa demam Taslimah akibat radang tenggorokan. Disarankan jangan dulu makan makanan yang berminyak. Jangan minum es. Istirahat yang cukup dan antibiotik wajib dihabiskan. Tidak banyak bicara Taslimah di dalam ruang praktek. Dia lebih terpaku pada apa saja yang akan dipegang dokter. Harapannya tentu saja jangan sampai dokter mengambil jarum suntik dan menusukanke tubuhnya.

Sehabis makan hanya lima suap Taslimah segera minum obat.Saran Amri untuk istirahat tidak dibantah. Mungkin kondisi tubuh Taslimah memang sudah lelah. Setelah menutup badan ibunya dengan selimut, Amri segera ke masjid karena azan magrib sudah berkumandang sepuluh menit yang lalu.

Biasanya Amri pulang setelah isya. Tapi malam itu dia bertemu temannya di masjid. Mereka ngobrol sampai hampir jam sembilan. Setiba di rumah iia begitu terkejut mendapati ibunya menggaruk-garuk sekujur tubuhnya sambil setengah berteriak.

"Gatellll... Gatellll..."

"Kenapa, mak?"

"Buta mata lu? Ini gak lu liat lagi ngapain? Kan barusan gua bilang gatel."

"Iya. Tapi gatel kena apaan?"

"Mana gua tau."

Amri memegang kening ibunya. Tidak ada perubahan. Malah di pergelangan tangan dan leher ibunya, muncul beberapa ruam.

"Napas mak juga sesek ini, Am!"

"Kayaknya mak alergi obat. Amri ganti baju dulu. Kita balik lagi ke dokter."

"Itu dokter tega banget dah. Bukannya diobatin malah ngeracunin."

Taslimah seperti ayam mau bertelur. Ke sini salah ke sana salah. Beberapa kata makian yang jarang diucap akhirnya keluar dari bibirnya.

"Iya sabar ya. Kalau alergi emang begitu, mak. Nanti dikasihobat yang cocok."

“Dokternya aja suruh ke sini gak bisa, Am? Kan salah dia!”

“Ya gak bisa, mak. Mak mau sembuh kan? Mak mau dapet kerudung kan? Ayo.”

Taslimah diam sejenak. Dia baru ingat tujuan awal. Kalau masih sakit, sabtu nanti ujung-ujungnya kerudung melayang. Dia tidak bisa membayangkan saat temannya pakai kerudung seragam dan dia tidak punya. Maka meski badan agak menggigil dia paksa tubuhnya untuk kembali ke dokter tempat tadi berobat.

Syukurnya obat kali ini cocok dan dalam sehari demam Taslimah langsung turun meski menyisahkah suara serak.Tapi dia ngotot tidak mau menghabiskan antibiotik karena merasa sudah sembuh.

===

Azan zuhur pada speaker masjid belum rapi ketika Taslimah pulang dari pengajian hari sabtu. Amri yang baru mau berangkat kerja terpaku melihat wajah ibunya.

“Caleg gila!”

Wajah taslimah merah. Napasnya cepat serupa habis berlari. Tas tangan berisi kitab dan bedak di taruh meja makan dengan kasar. Juga pantantanya, duduk di bangku sepertisetengah dibanting.

“Caleg gila!”

“Kenapa, mak?”

“Masa ibu-ibu pengajian mau dibagikan asu.. asu.. asu apa itu. Katanya kalau mak mati nanti kelurga dapet tunjangan sejuta. Kalau matinya kecelakaan sembilan juta. Gila! Dia aja yang mati, nanti keluarganya mak bagi kontrakan satu pintu!”

“Asuransi kematian?”

“Iya, itu kayaknya yang dia bilang tadi. Asu.. asu.. asuransi. Sama aja doain orang pada meninggal. ”

“Terus gak ada yang mau?”

“Yang ada tuh orang diusir ibu-ibu pengajian.”

Kali ini Amri tidak bisa menahan tawanya. Tapi dengan sekuat tenaga dia redam agar gak terlalu lama. Khawatir ibunya marah dan pastinya dia yang jadi sasaran omelan.

“Ini calegnya?” Amri membuka gulungan kalender di atas meja yang tadi dibawa ibunya. “Kok kesel kalendernya diambil, mak?”

“Biarin! Itu buat nanti sore mak bakar sampah. Besok anterin mak ke Tanah Abang, kita cari kerudung biru.”

===

Jakarta, 10/1/14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun