Dalam sebuah gubuk terdengar tawa bocah yang bercanda dengan ayahnya. Hujan lebat tidak membuat mereka kedinginan karena Aris memeluk erat anaknya. Sesekali jemari Aris menggilik-gilik perut anaknya yang disusul tawa dan teriakan ampun. Mereka seolah tidak peduli dengan alas tikar yang sudah bolong dan basah karena air menitik dari asbes yang telah lapuk.
"Sudah becandanya, ayo makan!"
Istri Aris seketika berdiri dekat mereka dan segera menuntun Roni ke sisi ruangan yang tidak bocor. Bakul nasi ukuran kecil mengepul asapnya berdiri di sisi kantong kresek. Tiga buah piring plastik warna merah masih basah saat wanita itu menuangkan nasi.
"Asiikkkkk..."
Sampai terjulur lidah Roni tidak sabar menyambar bagiannya. Tangannya sudah menjulur padahal belum selesai ibunya menungkan nasi.
"Cepet dong, Bu."
"Iya sabar."
Aris tersenyum tapi ada genangan di ujung matanya.
"Begini dong Pak makan sekali-kali pake ayam ka ef ce."
"Sudah cepat makan pahanya."
Kedua orang tua itu menukar pandangan. Tidak segera makan bagian mereka, melainkan menyaksikan Roni yang dengan lahap menelan ayam dari setiap gigitan.