Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pensil (Cerita Anak)

20 Januari 2011   14:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:21 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tidak biasanya, selepas magrib Abib pulang ngaji dengan muka kesal. Memang dia mengucapkan salam dan mencium tangan ibunya, tapi tas dan topi putih begitu saja dilempar ke kasur, tidak di meja belajar seperti sebelumnya. Ibunya tahu ada yang tidak beres, tapi tidak mau dia bertanya langsung. "Sini sayang," ibunnya segera menutup AlQur'an yang baru saja selesai baca surat Al Waqiah. Dia menyodorkan paha biar anaknya duduk dipangkuan. Abib menurut meski masih terlihat cemberut. "Lancar tadi baca iqra-nya?" Abib masih diam "Disuruh ulang ya?" Pelan Abib mengangukkan kepala. Agak ketakutan. "Ya sudah, gak papa. besok sebelum magrib kamu baca dulu sama ibu. Jadi ketika baca kamu sudah lancar dan gak disuruh ulang. Okeh?" Abib mengangguk pelan. Ada senyum tipis dibibirnya. Mungkin senang tidak diomeli bacaan iqranya harus diulang. Kemudia Ibunya merasa ini waktu yang tepat untuk menanyakan sikap anehnya saat pulang tadi. "Kok tadi tasnya dilempar, Bib? Kenapa sayang?" "Aku kesal!" "Kesal? Sama siapa?" "Umu. Dia nakal! Tidak mau aku main sama dia lagi!" Selain teman TK dan ngaji, Umu itu sepupu Abib. Ayah Abib dan ayah Umu adalah adik kakak. Rumah mereka pun berdampingan. Hanya dibatasi pagar kayu pendek. Kedua bocah itu selalu bersama. Berangkat sekolah, pergi mengaji, apalagi bila bermaihn, wah mereka sangat tidak terpisahkan. Makanya si ibu terkejut dengan jawaban anaknya tadi. "Yang bener tidak mau main sama Umu lagi? Kamu kan tidak mau main sepeda bila tidak ada Umu." ibunya mencoba mengingatkan keakraban mereka. "Besok sore, aku main sepeda sendiri saja. Bila dia keluar dan ikut main, aku masuk rumah." Ibunya kaget. Meski Abib pernah bermusuhan dengan Umu, tapi tidak pernah mengatkan kata-kata seperti barusan. "Apa yang membuatmu sangat marah?" perut Abib dipeluk ibunya, berusaha memberikan kehangatan agar anaknya merasa santai bercerita. "Pensil gambar tom n jerry aku hilang sama dia!" "Kamu yakin dia yang berbuat?" "Yakin, Bu.. Kemarin dia pinjam. Eh tadi katanya hilang." Ibunya menarik nafas panjang. Memeluk lagi anaknya yang masih di pangkuan. Pelukan kali ini lebih erat dan disertai ciuman di pipi. Dia tertawa pelan setelah hanya pensil yang memicu anaknya jadi demikian marah pada Umu. *** Abib main sepeda di halaman rumah. Dia berputar-putar sendiri mengelilingi halaman yang berumput tipis. Setiap arah sepedanya berbalik menuju rumah Umu, matanya melirik ke pintu yang masih saja tertutup. Biasanya saat ini Umu sudah keluar dan bermain bersama dengannya. Setelah lelah kejar-kejaran dengan sepeda, mereka berdua mengambil pasir untuk dijadikan rumah-rumahan. Hanya Azan magrib yang membuat mereka berhenti untuk siap-siap mengaji. Abib memang sudah berjanji tidak mau main dengan Umu. Tapi setelah dirasakan main sendiri, seperti ada yang hilang. Tidak seru. Tidak ada canda dan tawa. Tanpa teriakan dan tangisan. Apalagi tadi sekolah, Umu tidak masuk. Sekali lagi Abib memicingkn matanya, dan pintu itu masih saja tertutup. Ibunya menyaksikan kegelisahan Abib dari balik jendela. Dia sudah tahu apa yang terjadi pada Umu. Sengaja dia biarkan dulu anaknya diliputi rasa penasaran, menunggu sampai dimana anaknya menyimpan rasa marah. Waktu Abib sekolah tadi pagi, dia mampir ke rumah tetangganya itu mendapati Umu sakit. Badannya panas. "Setelah pulang ngaji," ibunya Umu menjelaskan, "Umu menangis. Katanya dimarahi Abib. Eh tengah malam dia mengigau dan badanya panas." "Maaf ya gara-gara Abib jadi begini." "Ah ini mah memang sudah penyakit. Kebetulan saja datangnya pas mereka marahan. Namanya juga anak-anak." Benturan ban sepeda ke pintu menghentikan lamunan. Abib masuk menaruh sepedanya di samping sofa. Mukanya terlihat kesal. "Kok udahan mainnya?" "Gak seru!" "Semalam kan kamu yang mau main sendiri?" Abib tidak menjawab. Dia mengambil gelas dan mendekati dispenser. Air segelas penuh tandas dalam sekejap. Kemudian duduk di sofa, menonton tv. Perlahan ibunya duduk di samping Abib. Mengambil remote dan mengecilkan sedikit voleme tv. Abib tidak protes. Nafasnya satu dua dengan peluh masih menempel di jidat. "Kamu masih marah sama Umu?" "Masih.." "Dia sakit, makanya tadi tidak sekolah." Abib menoleh sebentar, kemudian menonton lagi seperti tidak peduli. Ibunya jadi tahu rasa kesal di dada anaknya masih ada. "Masa sih hanya karena pensil marahnya selama ini?" "Itu pensil kesukaanku!!" "Kamu ingat sebulan lalu waktu main di rumah Umu memecahkan akuarim di atas meja, hingga ikan mas koki kesukaan Umu akhirnya mati?" Lama Abib tidak bereaksi, bola matanya berputar mencoba mengingat. "Benar kan?" tanya ibunya lagi. Abib mengangguk pelan. "Marah Umu padamu waktu itu?" "Tidak.." "Terus ingat seminggu lalu Umu memberikan apa saat kamu ulang tahun?" Abib mematung lagi. Pikirannya terbayang waktu itu dia terkejut senang saat membuka hadiah ulang tahun dari Umu, sebuah mobilan hotwheels warna hitam model balap. Itu membuat koleksi mobil hotwheels-nya tambah banyak. Abib pun tahu uang untuk membeli mobil itu adalah hasil dari celengan Umu sendiri yang dipecahkan sehari sebelum hari ulang tahun. Ibunya menikmati perubahan raut muka di wajah anaknya. Dia yakin Abib sedang membandingkan perlakuan jahatnya terhadap kebaikan-kebaikan Umu. Kernyit di atas mata anaknya jelas menampakkan penyesalan. "Enak main sepeda sendiri tadi?" Abib menggeleng. Ada cairan hangat di ujung matanya. Sebelum air mata itu jatuh ibunya mengambil sesuatu dari atas kulkas. "Ini pensil tom n jerry. Satu untukmu dan satu untuk Umu." Abib langsung melompat dari sofa. Ada matahari pagi di wajahnya. "Terima kasih, Bu. Aku mau minta maaf pada Umu." Ibunya tersenyum puas melihat anaknya berlari dan menghilang di balik pintu depan. *** mencoba menulis untuk anak sendiri... 20 January 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun