Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Karena Kamu Cuma Satu

22 Januari 2011   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukman mengintip dengan mendorong sedikt pintu kamar, istrinya masih tergolek lemah. Terpejam. Dada Naik turun beraturan. Sangat pelan pintu ditutup kembali. Lalu kakinya melangkah ke dapur. Mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Tarikan nafas panjang diambil saat melihat plastik obat di samping tv. Ada pertarungan perasaan di dadanya ketika obat diambil. Tapi akhirnya dia tersenyum seperti memenangkan sesuatu. Tanpa sengaja kalender yang menempel di lemari tengah tertangkap matanya. Dia jadi ingat, setahun sudah istrinya terbaring. Dan selama itu pula dia yang memberinya obat. Istrinya masih terlelap saat dia duduk di pinggir kasur. Obat dan gelas air putih diletakkan di meja kecil nyaris tanpa suara. Sejenak dia pandangi wajah istrinya. Sakit yang panjang membuat renta mendahului umurnya. Sroke yang kedua kali menjadikannya tidak bisa lepas dari tempat tidur. Rambut putih hampir sama banyak dengan yang hitam. Keriput di wajah wanita paruh baya itu tidak sedikit. Lukman masih ingat, dulu kulit itu kencang dan memerah. Jarinya sering menari di atas pipi itu lalu mendaratkan ciuman hangat.  Kalau sudah begitu istrinya membalasnya dengan pelukan dan minta ciuman di bibir. Lukman coba bangunkan istrinya dengan pijatan lembut di telapak kaki. Seperti otomatis, dua menit kemudian mata itu terbuka. Keduanya saling lempar senyum. Lukman mengusap peluh yang menempel di kening lalu menciumnya. "Minum obat ya sayang?" Istrinya manggut sambil meremas pelan paha suaminya. "Aku bantu kamu bangun.." Bantal dibuat berdiri menyandar di kepala ranjang agar nyaman duduk istrinya. Lukman sama sekali tidak bosan dengan pemandangan ini. Dia yakin doanya yang tidak kurang lima kali dalam sehari untuk kesembuhan istrinya akan diterima. Entah kapan tapi dia terus berusaha. Meski dokter berpendapat lain namun dia tidak peduli. Kuasa Tuhan lebih besar daripada pengetahuan seorang dokter, batinnya. "Aku iklas, Pak.." suara istrinya setelah selesai menelan obat. "Ikhlas apa?" "Kau menikah lagi," "Bicara apa kamu?" Sebagai suami Lukman memang tidak bisa menampik, ingin juga punya keturunan. Sampai usia perkawinan ke duapuluh masih belum bisa istrinya mengandung. Lagipula, seandainya sehat pun, istrinya sudah tidak akan kuat menjalani persalinan dengan umur serenta itu. Belum ditambah sakitnya yang susah sembuh. "Aku tahu kau begitu mencintai anak kecil. Dan aku belum bisa memberikannya untukmu." Lukman masih terdiam. Pikirannya yang melayang membuat ucapan tadi tidak begitu terdengar. "Kamu dengar tidak?" Suaminya agak kaget. "Dengar apa? "Tadi aku bilang, Aku tahu kau begitu mencintai anak kecil. Dan aku belum bisa memberikannya untukmu. Menikahlah lagi. Aku ikhlas." Lukman mengangkat pantarnya dan mencium lagi kening istrinya sambil menyelipkan jarinya ke sela jari istrinya. "Pernah terbayang, tapi tidak akan aku lakukan." "Kenapa?" Kemudian lukman tertawa kecil dan lebih erat jarinya digenggam. Bibirnya dia dekatkan ke telnga istrinya dan bernyanyi pelan: Kau satu-satunya dan tak ada dua Kau satu-satunya dan tak ada dua

Kau satu-satunya dan t Kau satu-satun"kau satu-satunya dan tidak ada dua apalagi tiga cuma engkau saja"* Istrinya tahu itu lagu yang sering mereka nyanyikan saat pacaran. Entah perasaan apa yang menyelimuti wanita itu, sehingga bait-bait itu menjadikannya seperti muda lagi. "Ayo kita lanjutkan bersama.." ajak Lukman dengan tatapan mesra ke mata istrinya. Dua insan itu menganggat suaranya bersama, pelan seperti saling berbisik: Denganmu semua air mata menjadi tawa suara ria

"Denganmu semua air mata menjadi tawa suara ria akankah kau selalu ada menemani dalam suka dan duka denganmu aku bahagia, denganmu aku ceria janganlah kau berpaling dariku karena kau cuma satu untukku"* Lukman menghapus aliran air yang menetes dan jatuh ke dalam kerutan kulit istrinya. "Maafkan aku.." "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau tidak bersalah." Tangan Lukman ditarik pelan. Kemudian telapaknya ditempelkan ke pipi istrinya. Ada kebanggaan luar biasa di mata itu memiliki suami seperti Lukman. "Aku kerja dulu ya?" Istrinya mengangguk dan segera melepaskan tangan Lukman. "Reni sudah datang, dia yang akan menjagamu. Nanti malam aku lagi yang memberimu obat." "Dan bernyanyi..?" "Yah.. Kita nyanyi lagi." Lukman bangun. Dia melangkah mundur agar tidak terlepas memandang istrinya yang terlihat masih mau bersamanya. Dia menyanyi lagi pelan untuk istrinya: Denganmu semua air mata menjadi tawa suara ria akankah kau selalu ada menemani dalam suka dan duka denganmu aku bahagia, denganmu aku ceria janganlah kau berpaling dariku karena kau cuma satu untukku untukku, untukku, untukku, untukku..."* *** Jakarta, 22 Januari 2011 mungkin secuil yang seperti ini, tapi saya yakin ada. *lirik lagu Naif: Karena Kamu Cuma Satu inspirasi setelah dengar lagu ini, mau denger, klik aja di bawah http://www.youtube.com/watch?v=oAF1RQbhgao

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun