Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Buku Harian Seorang Suporter

28 Desember 2010   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:18 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12.36 "Ayo lah, Sam!" Teriak Ipul memanggilku dari luar rumah. "Sebentar...." Jawabku dari dalam kamar mandi. Setelah tetes terakhir dari air seni berhenti, segera aku naikan resleting celana. Tidak usah cebok. Biasa. Ibuku berdiri menatapku setelah aku keluar dari kamar mandi. Tatapann bisu tapi bermakna lebih dari teriakan dalam hatinya. Sejak kemarin dia melarangku untuk pergi nonton langsung. Bahaya, katanya. Tapi aku tenangkan hatinya bahwa stadion itu seperti rumahku juga. Hapal aku lekuk perlekuk dari bangunannya. Jadi andai rusuh, aku pasti berkelit dengan mudah. "Sudah sholat zuhur?" tanya ibuku saat aku melewati tubuhnya. "Sudah." Jelas ini jawaban bohong, biar dia senang saja. Di luar rumah, Ipul dan 30 teman-temanku sudah menunggu. Yel-yel sudah diteriakkan diiringi gendang yang dipukul salah satu temanku. Semuanya bekaos merah. Berani, ya kami memang kumpulan pemberani. Mudah-mudahan timnas juga berani menekan Malaysia habis-habisan. Masalahnya hari ini butuh 4 gol untuk juara, atau paling tidak tiga 3 gol biar ada peluang adu pinalti. Ah pasti bisa!! "Cabut!!" Teriakku. 13.02 Masih belum ada truk yang lewat sejak tadi. Biar hemat ongkos kami selalu menumpang truk. Biasanya aku dan Ipul mencegat laju kendaraan itu dengan cara berdiri di tengah jalan dengan mengacungkan batu. Menatap supir dan menebar ancaman. Supir truk biasanya tidak akan berani menghindar, karena teman-teman di pinggir jalan sudah siap dengan batu-batu lain bila dia menghindar dan mencoba berkelit. "Naik kopaja aja kali ya?" Saran Ipul. "Ya udah, kelamaan nunggu truk." Aku naik kopaja diikut semua teman-teman. 88 jurusan Kali Deres Slipi. Penumpang kopaja ketakutan setelah kami naik. Seorang ibu memeluk gadisnya. Mereka yang duduk di samping jendela tak berani menatap kami, buang pandangan ke jalanan. Teriakkan yel-yel tidak berhenti, juga tabuhan gendang. Supir dan kernet bis tak berani menegur . Aku lihat ada pemuda, sepertinya mahasiswa, ketakutan dan salah tingkah. Saat matanya bertemu mataku dia buang muka dan melihat atap sambil mencoba bersiul, tapi jadi terlihat ganjil dan lucu. Ipul juga memperhatikan dan dia tersenyum padaku. Lalu kami mendekati pemuda berkaca mata tebal itu. Tidak sampai tiga menit dompetnya berpindah ke kantong celanaku. Lumayan buat beli tiket sama calo. Kami berhenti di lampu merah Slipi. Penghabisan jalur bus.  Beberapa orang yang sedang menunggu angkutan umum di halte lampu merah ada yang meneriaki kami. "Ayo Indonesiaaa.." Kami pun jadi makin keras menyanyikan lagu Garuda di Dadaku, aku merasa seperti prajurit yang mau berangkat perang. Kami berjalan kaki  terus ke selatan dan akan melewati gedung DPR/MPR. Tinggal berbelok ke kanan akan ada gedung TVRI, sebelah kirinya sudah terlihat stadion itu, pas pintu sektor 13. 15.4 6 Belum sampai stadion, masih di tepi jalan depan Taman Ria Senayan, suasana sudah ramai dengan teriakan kemenangan. Angkutan umum yang berhenti semuanya mengeluarkan penumpang dengan kaos merah. Kalau dalam film perang pemandangan ini seperti pasukan dengan perahu karet yang mencium bibir pantai, siap menaklukan lawan, merebut pulau dan kekuasaan. Begitu juga kami, sebagai pemain ke 12 di luar lapangan, akan berusaha segalanya untuk membantu kemenangan. Ya, segalanya. Kami merapat. Suasana yang serba merah dengan atribut yang mirip bisa saja membuat kami terpencar. Aku paling depan dengan Ipul. Kakiku sekarang sudah menginjak lantai kramik komplek Senayan. Tukang kaos timnas mengikat tali dari dua pohon untuk menggantung dagangannya. Tukang minuman air mineral, permen, snack, tahu goreng seperti sedang kebanjiran rejeki. Dagangan mereka laris. Tiket resmi di loket sudah habis terjual. Aku dan Ipul belum punya tiket. 30 temanku yang lain sudah mengantongi karena enam perwakilan kami kemarin antri dari subuh untuk menukarkan kupon dengan pembelian  maksimal 5 tiket. Aku dan ipul mengalah. Kami mencari calo. Dan aku punya dompet hasil rampasan tadi di kopaja. Suara terompet dan gendang menguasai udara senja itu. Makian dan ganyang Malysia terdengar di mana-mana. Tidak sedikit anak kecil dengan ikat kepala merah di gendong ayahnya. Juga wanita cantik yang memegang erat tangan kekasihnya. Bahkan ada ibu-ibu gendut ikut berteriak "4-0 4-0" memakai kaus merah dengan perut besarnya yang pasti tidak nyaman. Aku menoleh saat telingaku mendengar suara, "mereka pikir dia doang yang punya laser, nih punya gua. Kita bantai mata kiper Malaysia pakai ini." Aku dan teman-temanku bertepuk tangan. "Gayang Malaysia!!" "Ayo Gonzales!" "4-0" "5-1" Teriakan itu bergantian terlontar dari kerumunan orang yang makin membanjiri di luar stadion. Ada lelaki separuh baya pakai jaket panjang. Bertopi dan merokok. Dia pasti calo. Aku sudah hapal. Tangan Ipul aku tarik dan kami mendekati orang itu. *** 28  Desember 2010 lanjutannya setelah pertandingan besok apakah akan rusuh? ** gambar dari gugel

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun