Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Harga Onthel

24 Desember 2010   08:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:26 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12931734741634332603

"Jual saja onthel itu," "Sayang, Mah." "Sayang mana dengan anakmu?" "Ya jelas anak." "Ya sudah jual sana!!" "Nanti jualan kerupuk pakai apa?" "Jalan kaki." "Jalan kaki?" "Iya. Kau cari saja kayu untuk menyanggah dua kaleng besar itu. Lalu pikul dan berjalan kaki keliling kampung. Banyak yang begitu." Samtari meninggalkan istrinya. Tidak mau meneruskan debat. Dia ambil handuk putih yang tersangkut di pintu kamar mandi. Menaruhnya di leher. Lalu membawa onthelnya keluar rumah. Kaleng kerupuk kembar digotong kemudian, pintunya terlalu sempit  bila kedua sisi onthel ditaiki kaleng kerupuk saat keluar. Setelah menaruh dua kaleng itu di boncengan onthel, dia pun mengayuh. Berkunjung ke warung-warung kecil langganan kerupuknya. Mengambil uang untuk kerupuk yang terjual dan mengisinya kembali dengan kerupuk baru. Biasanya dia ucapkan pamit. Kali ini tidak. Bahkan kopi yang sudah disiapkan di meja tidak diminum. Bentuk protes dan rasa tidak senang. Hatinya rada kesal dengan permintaan istrinya yang tidak bosan-bosan  menyuruh menjual onthel. Dia hitung dalam dua hari ini, lebih dari sepuluh kali telinganya mendengar perkataan itu. Sambil mengayuh, Samtari memikirkan kebutuhan rumah tangganya yang sedang loyo. Bagaimana tidak? Anak tiga. Yang paling tua 5 tahun, adiknya terkecil 7 bulan, masih nete. Penghasilan utama ya jualan kerupuk. Dia ambil di agen dengan keuntungan 20 persen dari penjualan. Dalam sebulan paling hebat dia bisa kumpulkan penghasilan bersih 450 ribu.  Itu belum dipotong rokok , minum es di tengah jalan, serta ban bocor. Sebenarnya dua bulan lalu dia masih jadi satpam di sebuah bank swasta. Gajinya lebih dari dua kali lipat dibanding yang sekarang. Cukup untuk ukuran dia. Tapi entah mengapa setelah pergantian pimpinan di bank itu, posisinya dilengserkan. Sejak itulah kantongnya megap-megap. Satu persatu 'harta' yang ada di rumahnya dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Terakhir burung kesayangannya, slamet, berakhir di tangan Juned, tetangganya, yang memang sudah lama mengincar burung itu. Andai onthel itu miliknya pribadi, tidak sampai disuruh istrinya pun sudah jadi uang. Masalahnya sepeda itu peninggalan ayahnya. Dan dia masih ingat pesan ayahnya saat sakit yang sebulan kemudian membuatnya wafat. "Samtari, ambil onthel itu. Rawat. Awas jari-jarinya karatan. Simpan jangan sampai hilang. Apalagi kau jual." Tanpa ayahnya berpesan, dia sudah tahu bahwa sepeda itu bukan sekedar kendaraan roda dua tua. "Di atas onthel ini," suatu hari ayahnya bercerita, "pacarku, yang sekarang ibumu itu, menyatakan iya atas cintaku. Dia bilang aku begitu gagah bila sedang mengayuh. Bukan itu saja, onthel ini juga berjasa dalam keuangan keluarga kita." Ayahnya pada tahun-tahun pertama menikah bekerja sebagai penjual ikan. Setiap hari, sebelum jam 4 pagi, di atas onthel itu mengayuh ke Kamal, dimana para nelayan menjual ikan hasil tangkapannya ke bandar. Ikan kembung, bandeng, mas, kakap, cumi, udang, lele yang terbeli dia taruh di boncengan. Ada semacam wadah dari kayu datar untuk menampung ikan-ikan itu berjejer, dipisah sesuai jenis dengan sekat batang kayu kecil.  Sholat subuh di sana, kemudian mengayuh pulang sampai pasar Cengkareng sebelum jam 6 pagi. Sampai Samtari bisa berlari baru ayahnya berhenti berjualan ikan. Tabungannya telah cukup untuk membangun warung dan berjualan barang-barang sembako. Tapi tetap, onthel dirawat dengan penuh kasih sayang. ** Hindun, istri  Samtari, sedang menyusui Ipul saat Udin, si sulung, nangis minta dibelikan sosis. Udin  asyik nonton Doraemon saat diselingi iklan sosis, lalu latah ingin makanan itu. Karena tidak dijawab setelah meminta berkali-kali, bocah itu nangis dengan kekuatan penuh. Padahal Ipul sudah mau tidur kalau saja tidak mendengar tangisan Udin. Setengah jam mengeloni jadi sia-sia. Ipul ikutan nagis. Dia tidak mau ditaruh bila tidak digendong. Sudah bau tangan, kata orang. Hindun tidak jadi mencuci, padahal dua bak besar yang dipenuhi pakaian kotor sudah menunggu di kamar mandi. Udin dibiarkan menangis. Biasa. Memang ada lima ribu tersisa di kantong Hindun. Tapi itu untuk beli kangkung dua ikat, sebatang tempe dan sebutir telur untuk makan siang. Lagipula bila dituruti, keinginan Ipul tidak ada ujungnya. Teko air bersiul tanda matang. Hindun bangun sambil menggendong Ipul. Terlihat di pojokan ada Nurdin, adiknya Udin, tertawa geli memainkan air kencingnya sendiri yang berceceran di lantai. Tangan Nurdin mengepak air kencing hingga air terciprat ke mukanya. Dan dia menikmati betul sampai tertawa berkali-kali. Hindun menarik napas panjang. Tangannya hanya dua, satu untuk menggendong dan satu lagi untuk matikan kompor. Baru rapi air masuk termos terdengar ketukan pintu dan salam di depan rumah.  Dia menjawab dan berjalan ke arah suara.  Saat pintu tersibak, wajah Masturoh, pemilik warung sebelah, seperti mengancam dan mau  menerkam. "Masuk, Mpok." "Gak usah! di sini aja." Hindun tahu pasti tamunya itu mau menagih hutang yang sudah sebulan belum di bayar. Dua bulan terakhir dia mengambil sembako di warung Masturoh dengan janji  dibayarkan setiap akhir bulan. Ini sudah tanggal sepuluh bulan ketiga tapi Masturoh masih belum menerima seperak pun. "Kapan kau mau bayar?" "Besok, Mpok." "Kemarin kau bilang besok. Sekarang besok lagi. Besok kau bilang lusa?" Hindun diam. "Dasar. Miskin belagu. Kalau tidak ada duit buat bayar, jangan janji!" Masturoh pergi sambil meludah di lantai Hindun. ** Rumahnya seperti kapal pecah saat Samtari pulang. Ada ember terbalik di atas meja makan. Popok bayi menutupi layar tv. Sandal-sandal ada di kamar mandi. Lantai penuh dengan air yang berceceran. Udin dan Nurdin tertawa main tembakan air. Nurdin tidak memakai celana dan Udin bertelanjang dada. Keduanya cuek dengan kehadiran ayahnya. Setelah masuk kamar Samtari mendapati istrinya menangis di atas kasur. Ipul matanya terpejam tapi mulutnya masih melumat puting susu. Pipinya turun naik. Rasa kesal yang tadi pagi menyelimuti mendadak lumer. Dia sadar betapa istrinya sangat lelah mengurusi rumah tangga. Samtari hafal bila istrinya begini, pasti Masturoh habis menagih hutang, jadi tidak perlu dia tanya alasan tangisan itu. Baru saja pantat Samtari mendarat di kasur, lalu terdengar suara pelan istrinya, "Aku hamil lagi." Mulut Samtari seperti disumpal kaleng kerupuk besar. Cepat ditinggalkan istrinya dan mengayuh onthel menuju Kota Tua, Jakarta Pusat. Sepeda onthel disewakan kepada pengunjung dengan tarif sepuluh ribu di tempat itu. Dia mau jual onthelnya kepada bandar sepeda. Biarlah, ayah pasti memaklumi, batinnya. ***** 24 Desember 2010 foto dari www.itravelnet.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun