Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Samtari dan Samsiah [2]

14 Desember 2010   12:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12923293811746363206

Baca dulu yang edisi satu, baru ngarti cerita ini. Masuk aja ke profil, Saya gak bisa cara kasih link, maklum anak kampung. * Samlawi, teman akrab Samsudin yang diutus untuk menghasut Samsiah, sedang dipuji atas keberhasilannya. "Bener Samsiah percaya?" "Bukan maen, tokcer, dari luar gua denger pintu kamarnya dibanting." "Hahaha. Mantap, mantap." "Terus kapan lu mao deketin Samsiah." "Tenang gua nunggu waktu yang tepat. Santai aja, udah ada di otak gua itu mah." * Di dalam kamar, di depan kaca, Samsiah menangis. Dia sangat kecewa, hubungan berusia dua minggu--masih hangat bagai kue apem baru diangkat dari kukusan, sudah dinodai. Tadinya dia pikir Samtari akan setia, masalahnya proses Samsiah bilang 'iya' untuk jadi pacar Samtari, lumayan lama. Tiga kali dia tolak permintaan itu, tapi Samtari tidak menyerah, sampai peristiwa kucing yang tersambar petir itu.  Tapi mengapa setelah dia menaruh hati malah dikhianati? Emaknya Samsiah masuk kamar. Dia sangat paham dengan apa yang terjadi. "Dari awal juga sebenarnya Mak kaga setuju lu berpacaran dengan dia. Apa yang mau diarepin. Mukanya ya emang segitu doang. Pas-pasan. Kerjaan ngojek. Tuh motor juga boleh kredit. Belom lunas. Haduh! Emang apaan yang bikin cinta banget sama dia?" Samsiah tidak menjawab. Malah menenggelamkan mukanya ke bantal. Tangisannya seperti mobil-mobilan yang batrainya mau habis. "Pacar kaya gitu aja ditangisin, rugi. Rugi banget. Kalo tampangnya kaya Dude Herlino mah gua juga ikut nangis kali. Ini sama Mandra aja masih kalah. Mendingan Mandra duitnya banyak. Jelek juga gak masalah. Ini jelek iya, kere iya." Volume tangisan tambah kencang. Si Mak geleng-geleng kepala. "Ngapain juga gua ngurusin ginian. Pepesan  kosong. Susah kalo anak kaga mao diurusin orang tua. Terserah dah." Si Emak kembali kepada konsumen gado-gadonya. Meninggalkan gadisnya yang sedang patah hati. * Samtari bingung. Menelpon Samsiah tidak pernah diangkat. Lebih dari 15 kali. No Replay, kaya judul lagu The Beatles. SMS juga tidak dibales. Padahal kemarin Samsiah bilang, minta dianterin ke mall. Jalan-jalan. Samtari juga berniat membelikan pacarnya ice cream Mc Donald, mc flury rasa coklat. Murah, berdua cuma sepuluh ribu. Eh sebelas ribu deng, soalnya pajaknya 10 persen. Segera Samtari tancap gas menuju rumah pujaan hati. Tetangga yang sedang kumpul maen catur kaget bukan main melihat betapa kencang Samtari melintas. Dalam perjalanannya itu hanya tiga kali dia menginjak rem. Hatinya galau dan penuh dengan pertanyaan. Polisi tidur di jalanan dia anggap cuma kerikil jadi tidak perlu injak rem. Baru saja menurunkan standar motor, Samtari mencium aroma keganjilan. Calon mertuanya yang sedang mengulek bumbu gado-gado langsung buang muka, mendengus seperti banteng matador yang melihat kain warna merah. Hati Samtari tiba-tiba menciut, tidak beda dengan krupuk yang tersiram air. "Ass... salamu...`alaikum?" Si Emak pura-pura tidak dengar, lalu Samtari mengulanginya lagi. "Ass... salamu...`alaikum?" "Kum salam!" ucapan itu diucapkan dengan nada yang cepat tanpa menoleh ke orang yang memberi salam. Samtari makin serba salah karena pembeli gado-gado yang antri jadi tahu bahwa dia tamu yang tidak dikehendaki. Semuanya menatap ingin tahu reaksi dia. Mau pulang salah, mau langsung masuk apalagi, takut diteriaki maling.  Akhirnya dia merapatkan badannya dekat tembok dan mengambil ponsel Esia Ngoceh-nya. Mencoba lagi menelpon Samsiah. Nada sambung itu terdengar mirip lonceng kematian. Penuh harap untuk diangkat. Tapi hasilnya sama saja. Tidak ada jawaban. Saat dia berbalik badan untuk minta ijin pulang, sebuah tamparan keras mampir di pipi kanannya. "Plak." Kagetnya melebihi petir yang pernah dia saksikan menghantam kucing dan tong sampah. Tiba-tiba Samtari tidak bisa bicara, gagap. "A..aa da apaan.." "Plakk.." yang ini giliran pipi kirinya. Kemudian Samsiah masuk ke dalam rumah. Kuping Samtari mendengar pintu kamar pacarnya itu dibanting dengan keras. Dia menoleh ke wajah Emaknya Samsiah, merah dengan tatapan tajam seolah menyuruh cepat angkat kaki dari rumahnya. Pandangannya dia geser ke orang-orang yang mengantri gado-gado, semuanya pada tersenyum geli seperti baru saja mendapat tontonan kualitas sinetron. Samtari jalan pelan menuju motornya. Andai hatinya bisa terlihat, pasti hampir tidak ada bentuk lagi, seperti ponsel yang terlindas traktor. Langkanya putus asa dan penuh dengan tanda tanya. * Tanpa Samtari tahu, adegan tamparan itu disaksikan oleh Samsudin dan Samlawi dari dalam mobil Kijang Inova pinjaman. "Whahahahaha.." "Maknyus.." "Hebat lu, pas buat jadi provokator." "Udah dah, lu tunggu sini. Sekarang giliran gua beraksi." Samsudin berjalan dengan gagah ke rumah Samsiah. Sangat pede karena sebelumnya dia ke salon untuk cuci rambut dan facial. Emaknya Samsiah melihatnya datang, dia sedikit membetulkan rambutnya yang kelimis. "Assalamu`alaikum." "Walaikum salam." Percakapan ini kebetulan pas tidak ada yang beli gado-gado. "Ada Samsiah, Mak?" "Ada. Perlu apa ya?" "Saya punya temen produser film. Dia lagi butuh artis wanita buat filmnya yang baru. Kayanya anak Mak cocok tuh. Tinggal didandanin dikit, terus bisa akting, pasti lulus audisi." Siapa ibu yang tidak mau anaknya jadi artis? Apalagi untuk keluarga pas-pasan seperti ibunya Samsiah. "Duduk dulu dah. Biar Mak panggilin dulu tuh anak." Samsudin duduk dibangku dengan kaki kiri ditaruh di atas dengkul kaki kanan. Telapak kaki kirinya goyang-goyang. Bibirnya bersiul, sambil menyanyikan lagu keong racun. Emak Samsiah mengetuk pintu kamar anaknya. Lalu menyuruh gadisnya cuci muka biar gak ketahuan habis nangis. Pikirannya terbanyang-bayang akan masuk infotaiment karena punya anak yang bintang film. Dibandingkan Samtari yang tukang ojek, tamu yang sedang duduk di depan tampaknya lebih cocok untuk dijadikan mantu. Akhirnya pensiun juga jadi tukang gado-gado, batinnya. Perlu waktu setengah jam untuk membujuk Samsiah agar mau melupakan sejenak muka Samtari. Akhirnya setelah didandani dengan bantuan ibunya, Samsiah keluar untuk menemui Samsudin. *** Maap ane potong lagi, soalnya ini nulis juga sambil kerja, ane tukang servis hp. Sambil software dan sordel hp ane tulis cerita ini. Mudah-mudahan nyambung dan bikin tersenyum, besok kita lanjutin lagi. 14 Desember 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun