Pertengahan November 2024, sekelompok pelajar laki-laki di salah satu SMA di Kabupaten Kupang, NTT saling bakuhantam. Mereka tawuran antar kelas. Berturut-turut mereka berkelahi di dalam kelas saat jam sekolah, dan beberapa hari kemudian mereka kembali berkelahi di jalanan selepas jam sekolah. Penyebabnya, hanya karena salah satu siswa lelaki dijadikan bahan guyon sebab belum sunat.
Meski masalahnya sudah diselesaikan oleh para guru, cerita tentang saling olok karena belum sunat, dan juga tradisi melakukan hubungan seks sebelum luka bekas sunat secara tradisional sembuh akan tetap ada di dalam ruang-ruang kelas di pelosok Timor NTT. Hubungan seks sebelum luka bekas sunat sembuh seolah sudah jadi tradisi dalam keseharian sebagian besar masyarakat di Timor, NTT.
Kisah soal tradisi yang demikian penulis dapatkan sekira tahun 2018, saat baru beberapa tahun ditempatkan menjadi guru di SMAN 2 Fatuleu Barat di Kabupaten Kupang. Berkawan akrab dengan sejumlah pelajar lelaki saat itu memberi kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan banyak cerita soal keseharian remaja sekolahan di pelosok Timor NTT.
RH, pelajar berusia 18 tahun asal Bonatama, Desa Poto, kecamatan Fatuleu Barat, kabupaten Kupang mengikuti sunatan (khatan) yang dilakukan secara tradisional pada Maret 2018.
Belum benar-benar sembuh, kira-kira dua minggu setelah proses sunat yang menyakitkan itu dilalui, ketika masih ada sedikit luka pada bagian vital yang dikhatan, diantar beberapa temannya menggunakan sepeda motor, mereka mengunjungi lokasi pelacuran Karang Dempel (KD) Tenau untuk melakukan hubungan seks pertama pasca sunatan. Banyak temannya yang juga melakukan sifon, begitu penyebutan aktifitas seks yang demikian, di lokalisasi KD Tenau.
Di Fatuleu Barat, dan di daerah lain pedalaman Timor, hubungan seks pertama dan kedua pasca sunat disebut sebagai sifon. Sifon pertama hanya boleh dilakukan pada perempuan yang sudah pernah melahirkan. Pantangannya, perempuan itu tidak boleh ditiduri setelahnya agar 'panas bawaan' (malala') yang terbuang saat sifon pertama itu tidak kembali. Lelaki yang disunat setelah beristri harus melakukan sifon pertama pada perempuan lain sebelum kembali berhubungan dengan istrinya.
Berbeda dengan yang pertama, sifon kedua bisa dilakukan pada perempuan yang, setelahnya, hubungan intim masih bisa berlanjut. Tidak harus pernah melahirkan, pada pacar yang masih gadis sekalipun, sifon kedua bisa dilakukan. Sifon pertama dan kedua bisa dilakukan pada hari yang sama, asalkan bersama perempuan yang berbeda.
Sifon, dalam bahasa atoin meto (suku yang mendiami wilayah pulau Timor bagian barat) berarti proses mendinginkan. Peserta sunat tradisional memiliki keyakinan bahwa bagian vital yang baru saja disunat memiliki malala'Â dari alat potong sehingga harus didinginkan sebelum luka potong benar-benar sembuh.Â
Jika tidak melakukan sifon saat luka belum benar-benar sembuh, diyakini bagian vital itu tidak akan berfungsi normal, bahkan tidak berfungsi sama sekali. Dan, cairan kelamin perempuan yang diyakini sebagai obat untuk mendinginkan malala'. Karena itu, hubungan seks pertama pasca sunat tidak perlu dilakukan hingga lelakinya klimaks. Sekedar penetrasi sehingga bagian vital yang masih luka itu dibasahi cairan perempuan, sifon sudah selesai.
Sifon hanya wajib dilakukan oleh lelaki yang dikhatan oleh tukang sunat tradisional tertentu. Sunat yang dilakukan oleh tenaga medis tidak mengenal sifon. Ada juga tukang sunat nonmedis di pedalaman Timor yang sebenarnya tidak mewajibkan sifon. Tetapi, hingga hari ini, masih banyak tukang sunat tradisional yang mewajibkan pesertanya untuk melakukan sifon.
Meski menyakitkan dan lama sembuhnya dibanding sunatan yang dilakukan secara medis, sentuhan tangan mereka begitu diminati. Bapak FN yang tinggal di Bonatama, Desa Poto, kecamatan Fatuleu Barat adalah salah satu tukang sunat tradisional yang laris dikunjungi. Sejak tahun 1980-an hingga hari ini, tangan dinginnya sudah mengkhatan kulit alat vital ribuan pria yang datang dari berbagai tempat. Bahkan, banyak orang sekolahan (mahasiswa dan pegawai) dari kota Kupang yang datang untuk disunat olehnya. Sesuai pengakuannya, beberapa malah sudah pernah disunat secara medis tetapi tidak rapi atau tumbuh lagi kulitnya sehingga harus disunat ulang olehnya. Diyakini, kulit yang disunat tidak akan bertumbuh lagi jika dilakukan secara tradisional.
Biaya sunat yang murah meriah juga ditawarkan oleh mereka. Tahun 2018 itu, Bapak FN mematok biaya sebesar 25 ribu rupiah sebagai ongkos sunat setiap peserta. Baru beberapa waktu terakhir, ongkosnya naik menjadi 50 hingga 100 ribu rupiah. Dengan hasil yang katanya bersihnya maksimal dan perubahan fisik yang luar biasa (badan menjadi berbentuk dan gagah) sesuai profokasi para pria yang pernah ditanganinya, peserta sunat terus berdatangan meski ongkos sunatnya sudah naik. Setiap tahun ada puluhan pelajar SMP dan SMA di sekitar wilayah Fatuleu Barat yang menjadi 'pasiennya'. Di awal musim penghujan pada November 2024, ada puluhan pelajar SMA dan SMP di Desa Poto yang disunat oleh Bapak FN.
Selain lebih murah, lebih bersih, dan juga lebih sehat sesuai profokasi yang selama ini gencar dihembuskan peserta sunat tradisional dalam berbagai ruang dan kesempatan (dalam ruang kelas atau lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial lainnya), proses sunatnya terbilang sederhana. Peserta diarahkan agar begadang semalaman sebelum sunat dilakukan pagi hari. Tujuannya, jelas bapak FN, agar peserta ada dalam kondisi 'kurang darah' sehingga darahnya tidak banyak saat kulit khatannya dipotong.Â
Beberapa menit sebelum disunat, peserta diharuskan berendam dalam kolam atau aliran air. Saat berendam, peserta sudah tidak menggunakan celana. Setelah berendam beberapa saat, peserta keluar dari kolam dan proses sunat dimulai. Berbekal penjepit kulit yang terbuat dari dua bilah bambu berukuran secukupnya dan sebuah pisau silet yang sudah disiapkan peserta, kulit khatan dilepas. Ada teknik tertentu saat menjepit dan memotong kulit khatan. Tujuaannya, agar urat tertentu tak ikut terpotong. Tak butuh waktu lama, kulit khatan sudah terpotong. Karena sudah berendam, hanya beberapa bercak darah yang keluar.
Selesai dikhatan, peserta kembali berendam beberapa saat sebelum diobati. Sebelum menempelkan obat, tukang sunat mengambil segumpal pasir atau kerikil untuk kemudian tangan yang menggengam pasir itu diputar tiga kali dengan arah berlawanan atau searah jarum jam di dekat alat vital yang luka, lalu pasir itu dibuang melewati peserta sunat. Bagian ini bermaksud membuang segala beban dari hubungan seksual yang sudah pernah dilakukan oleh peserta sebelum menjalani sunat. Oleh beberapa tukang sunat yang lain, peserta yang menyiapkan kerikil sebanyak jumlah perempuan yang sudah pernah digaulinya. Akibatnya akan fatal jika jumlah kerikil kurang dari jumlah perempuan yang sudah pernah berhubungan intim dengan peserta tersebut. Karena itu, bapak FN menggunakan segumpal pasir atau kerikil dengan asumsi, jumlah kerikil pasti lebih banyak dari jumlah teman intim peserta sehingga tak berbahaya andai pesertanya sudah tak ingat jumlah teman intimnya lagi.
Sebagai obat, daun rumput minjangan (suf muti') yang sudah dilumat kemudian ditempelkan pada luka potong lalu ditutupi/diperban menggunakan secarik kain yang sudah disiapkan sebelumnya.Â
Sampai disini, proses sunat sudah selesai. Peserta sudah boleh pulang. Umumnya, peserta kemudian mendatangi tempat kesehatan untuk mendapatkan obat--obatan medis. Hal ini juga direkomendasikan oleh kebanyakan tukang sunat tradisional. Hanya saja, pantangannya, tak boleh makan garam, makanan pedis, dan juga sayur pepaya.Â
Peserta juga diwanti--wanti agar melakukan sifon sebelum luka potong benar--benar sembuh. Peserta kemudian menunggu saat yang tepat untuk melakukan sifon.
Bicara Seks bukan Barang Tabu Remaja Sekolahan
FP, teman RH yang saat itu duduk di kelas XI SMAN 2 Fatuleu Barat bercerita, sifon pertama dan keduanya dilakukan pada hari yang sama di lokalisasi KD Tenau.Â
"waktu sifon pertama, hanya totok saja. Tidak sampai klimaks. Meski alat vital terasa pedih, tapi luka pada alat vital terlihat langsung mengering. Saya langsung ke kamar yang lain untuk sifon kedua." cerita FP, disambut gelak tawa teman--temannya yang serius mendengarkan.
Tak ada yang aneh bagi remaja sekolahan ini ketika bercerita soal aktifitas seksual mereka. RH sendiri menceritakan pengalamannya mengunjungi lokalisasi KD Tenau pada seisi kelas mereka. Cerita bahwa RH melakukan sifon kedua pada pemudi desa yang sudah pernah digaulinya sejak masih di kelas 2 SMP juga diketahui kelompok gengnya yang sekelas dengannya saat ini. RH sendiri, sesuai ceritanya, sudah melakukan hubungan seksual saat berada di bangku kelas 6 SD, ketika umurnya belum genap 14 tahun.
Saat RH menceritakan pengalamannya mengunjungi KD Tenau pada seisi kelas, teman lelaki dan perempuannya menanggapi ceritanya sebagai cerita biasa. Tidak ada yang kaget, risih, atau bahkan jijik. Yang lebih seru, Bunga (bukan nama sebenarnya), siswi yang saat ini sekelas dengan RH bisa menebak dengan benar lelaki mana yang sudah dikhatan dan mana yang belum. Saat menunjuk teman lelakinya yang belum dikhatan, ada semacam senyum penuh arti yang tergambar dari wajahnya (beruntung dia tidak menebak apakah penulis yang adalah guru matematikanya sudah sunat atau belum). Tawa seisi kelas pecah jika lelaki yang ditebak ternyata benar belum disunat.
"Pria yang sudah disunat dengan yang belum disunat memiliki rona muka yang berbeda." Jelas Bunga.Â
Bunga sendiri, sesuai pengakuannya yang didengarkan seluruh teman lelaki dalam kelasnya, hanya ingin berpacaran dengan lelaki yang sudah disunat. "sudah bersih, sehat, badannya tidak 'berat', dan rona mukanya cerah dan menarik." Begitu alasan Bunga.Â
Teman perempuannya juga menyampaikan alasan yang senada. Alasan yang demikian sudah berulangkali mereka dengar entah sengaja atau tidak dari teman--teman lelakinya ketika bercerita. Bahkan alasan yang vulgar semisal 'agar tahan lama' juga mereka tahu, tentu, sesuai yang mereka dengar dari teman--teman lelakinya.
Di Mana Posisi Sekolah...?
Diskusi mendalam soal sifon dan perilaku seks bebas yang mulai membiasa dalam kehidupan remaja sekolahan di pelosok Timor bisa jadi, akan menghantar kita pada semacam perasaan miris dan rasa khawatir bahwa, ke depan, mungkin saja ada tidak sedikit generasi saat ini yang melihat perempuan sebagai objek yang mudah dieksploitasi. Toh, saat ini saja, kebanyakan kaum lelaki dalam kehidupan komunitas masyarakat atoin meto masih menstigmakan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan dan cenderung tersubordinasi oleh lelaki dalam berbagai lini.Â
Kondisi ini berlawan sekali dengan kebiasaan budaya atoin meto yang sebenarnya, yang sesungguhnya menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat agung. Bahasan soal posisi agung perempuan dalam konteks atoin meto ini penulis tuangkan dalam artikel berjudul 'Bife Meto, Perempuan Timor yang setara dengan alam'.
Tentu saja sunat tradisional di pedalaman Timor yang dilakukan sepaket dengan sifon bukan aktor tunggal yang memberi kontribusi pada menguatnya kebiasaan seks bebas dikalangan remaja sekolahan. Ada banyak tersangka yang terlibat. Kemudahan akses pada media yang sarat profokasi seksual hingga profokasi soal keunggulan sunat tradisional dan cerita--cerita pengalaman seksual rekan sebaya yang gencar dihembuskan dalam berbagai interaksi sosial remaja sekolahan, ada diantaranya.
Dalam keseharian remaja sekolahan di Fatuleu, tak sedikit remaja lelaki usia puber terjebak dalam interaksi sosial yang menempatkan lelaki tak bersunat sebagai obyek guyon. Cerita bahwa di tempat tertentu, lelaki dewasa yang belum disunat akan diolok--olok oleh para gadis yang bisa membedakan pria bersunat dan tidak juga ada dalam keseharian remaja Fatuleu. Bersamaan dengan itu, profokasi soal kualitas hasil sunat tradisional yang mantap makin menjauhkan minat remaja pedalaman pada sunat medis yang dirasa relatif mahal.
Serentak, ketika perilaku seks bebas menguat sebagai kebiasaan remaja sekolahan saat ini, sekolah kehilangan taring untuk menguatkan posisi moralnya. Rilis kementrian kesehatan beberapa waktu lalu bahwa lebih dari 50 persen remaja sekolahan di Indonesia telah mengenal seks sebelum menikah adalah gambaran bahwa gempuran persoalan moral yang menjerat anak bangsa cenderung tidak mampu dihadang oleh sekolah. Edukasi soal seks dan masalah ikutannya tak mendapat tempat berarti di ruang sekolahan. Bahkan, cenderung diproyekkan. Konten soal moral termasuk soal seks bebas dan masalah ikutannya tak mendapat porsi yang memadai dalam agenda sekolahan. Bahkan, kadang--kadang, sekolah terkesan sengaja digiring dalam kolaborasi yang sarat nuansa proyek untuk kepentingan lembaga atau instansi tertentu dalam mengedukasi remaja sekolahan soal bahaya seks bebas dan masalah moral lainnya.
Sejalan dengan itu, belum ada model kolaborasi partisipatif antara sekolah dan berbagai pemangku kepentingan termasuk bersama orang tua dan lembaga keagamaan atau lembaga sosial lainnya, semisal lembaga adat, dalam program edukasi moral dan berbagai upaya penguatan moral anak bangsa sehingga, penangan masalah moral cenderung parsial dan sarat ego sektoral, meski isunya dikelola sebagai isu bersama. Padahal, porsi waktu yang dimiliki sekolah untuk berinteraksi dengan remaja sekolahan tidak sebanyak waktu yang dihabiskan remaja dalam interaksi di lingkungan luar sekolah yang sarat profokasi seksual dan masalah moral lainnya. Belum lagi, bapak dan ibu guru yang kebanyakan diupah murah harus berkutat dengan kesibukannya menyiapkan perangkat pembelajaran yang kebanyakan memberi sedikit porsi pada aspek internalisasi nilai--nilai moral. Isu moral juga makin kabur ketika keberhasilan bersekolah remaja sekolahan ikut diukur menggunakan instrumen yang cenderung mendewakan aspek kognitif.
Ah, kalau sudah begini, sekolah bisa apa...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H