Sejalan dengan itu, belum ada model kolaborasi partisipatif antara sekolah dan berbagai pemangku kepentingan termasuk bersama orang tua dan lembaga keagamaan atau lembaga sosial lainnya, semisal lembaga adat, dalam program edukasi moral dan berbagai upaya penguatan moral anak bangsa sehingga, penangan masalah moral cenderung parsial dan sarat ego sektoral, meski isunya dikelola sebagai isu bersama. Padahal, porsi waktu yang dimiliki sekolah untuk berinteraksi dengan remaja sekolahan tidak sebanyak waktu yang dihabiskan remaja dalam interaksi di lingkungan luar sekolah yang sarat profokasi seksual dan masalah moral lainnya. Belum lagi, bapak dan ibu guru yang kebanyakan diupah murah harus berkutat dengan kesibukannya menyiapkan perangkat pembelajaran yang kebanyakan memberi sedikit porsi pada aspek internalisasi nilai--nilai moral. Isu moral juga makin kabur ketika keberhasilan bersekolah remaja sekolahan ikut diukur menggunakan instrumen yang cenderung mendewakan aspek kognitif.
Ah, kalau sudah begini, sekolah bisa apa...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H