Tak ada yang aneh bagi remaja sekolahan ini ketika bercerita soal aktifitas seksual mereka. RH sendiri menceritakan pengalamannya mengunjungi lokalisasi KD Tenau pada seisi kelas mereka. Cerita bahwa RH melakukan sifon kedua pada pemudi desa yang sudah pernah digaulinya sejak masih di kelas 2 SMP juga diketahui kelompok gengnya yang sekelas dengannya saat ini. RH sendiri, sesuai ceritanya, sudah melakukan hubungan seksual saat berada di bangku kelas 6 SD, ketika umurnya belum genap 14 tahun.
Saat RH menceritakan pengalamannya mengunjungi KD Tenau pada seisi kelas, teman lelaki dan perempuannya menanggapi ceritanya sebagai cerita biasa. Tidak ada yang kaget, risih, atau bahkan jijik. Yang lebih seru, Bunga (bukan nama sebenarnya), siswi yang saat ini sekelas dengan RH bisa menebak dengan benar lelaki mana yang sudah dikhatan dan mana yang belum. Saat menunjuk teman lelakinya yang belum dikhatan, ada semacam senyum penuh arti yang tergambar dari wajahnya (beruntung dia tidak menebak apakah penulis yang adalah guru matematikanya sudah sunat atau belum). Tawa seisi kelas pecah jika lelaki yang ditebak ternyata benar belum disunat.
"Pria yang sudah disunat dengan yang belum disunat memiliki rona muka yang berbeda." Jelas Bunga.Â
Bunga sendiri, sesuai pengakuannya yang didengarkan seluruh teman lelaki dalam kelasnya, hanya ingin berpacaran dengan lelaki yang sudah disunat. "sudah bersih, sehat, badannya tidak 'berat', dan rona mukanya cerah dan menarik." Begitu alasan Bunga.Â
Teman perempuannya juga menyampaikan alasan yang senada. Alasan yang demikian sudah berulangkali mereka dengar entah sengaja atau tidak dari teman--teman lelakinya ketika bercerita. Bahkan alasan yang vulgar semisal 'agar tahan lama' juga mereka tahu, tentu, sesuai yang mereka dengar dari teman--teman lelakinya.
Di Mana Posisi Sekolah...?
Diskusi mendalam soal sifon dan perilaku seks bebas yang mulai membiasa dalam kehidupan remaja sekolahan di pelosok Timor bisa jadi, akan menghantar kita pada semacam perasaan miris dan rasa khawatir bahwa, ke depan, mungkin saja ada tidak sedikit generasi saat ini yang melihat perempuan sebagai objek yang mudah dieksploitasi. Toh, saat ini saja, kebanyakan kaum lelaki dalam kehidupan komunitas masyarakat atoin meto masih menstigmakan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan dan cenderung tersubordinasi oleh lelaki dalam berbagai lini.Â
Kondisi ini berlawan sekali dengan kebiasaan budaya atoin meto yang sebenarnya, yang sesungguhnya menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat agung. Bahasan soal posisi agung perempuan dalam konteks atoin meto ini penulis tuangkan dalam artikel berjudul 'Bife Meto, Perempuan Timor yang setara dengan alam'.
Tentu saja sunat tradisional di pedalaman Timor yang dilakukan sepaket dengan sifon bukan aktor tunggal yang memberi kontribusi pada menguatnya kebiasaan seks bebas dikalangan remaja sekolahan. Ada banyak tersangka yang terlibat. Kemudahan akses pada media yang sarat profokasi seksual hingga profokasi soal keunggulan sunat tradisional dan cerita--cerita pengalaman seksual rekan sebaya yang gencar dihembuskan dalam berbagai interaksi sosial remaja sekolahan, ada diantaranya.
Dalam keseharian remaja sekolahan di Fatuleu, tak sedikit remaja lelaki usia puber terjebak dalam interaksi sosial yang menempatkan lelaki tak bersunat sebagai obyek guyon. Cerita bahwa di tempat tertentu, lelaki dewasa yang belum disunat akan diolok--olok oleh para gadis yang bisa membedakan pria bersunat dan tidak juga ada dalam keseharian remaja Fatuleu. Bersamaan dengan itu, profokasi soal kualitas hasil sunat tradisional yang mantap makin menjauhkan minat remaja pedalaman pada sunat medis yang dirasa relatif mahal.
Serentak, ketika perilaku seks bebas menguat sebagai kebiasaan remaja sekolahan saat ini, sekolah kehilangan taring untuk menguatkan posisi moralnya. Rilis kementrian kesehatan beberapa waktu lalu bahwa lebih dari 50 persen remaja sekolahan di Indonesia telah mengenal seks sebelum menikah adalah gambaran bahwa gempuran persoalan moral yang menjerat anak bangsa cenderung tidak mampu dihadang oleh sekolah. Edukasi soal seks dan masalah ikutannya tak mendapat tempat berarti di ruang sekolahan. Bahkan, cenderung diproyekkan. Konten soal moral termasuk soal seks bebas dan masalah ikutannya tak mendapat porsi yang memadai dalam agenda sekolahan. Bahkan, kadang--kadang, sekolah terkesan sengaja digiring dalam kolaborasi yang sarat nuansa proyek untuk kepentingan lembaga atau instansi tertentu dalam mengedukasi remaja sekolahan soal bahaya seks bebas dan masalah moral lainnya.