Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Seks Remaja SMP dan SMA di Timor Paska Sunat

9 Desember 2024   17:38 Diperbarui: 9 Desember 2024   17:44 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber gambar: freepik)

Meski menyakitkan dan lama sembuhnya dibanding sunatan yang dilakukan secara medis, sentuhan tangan mereka begitu diminati. Bapak FN yang tinggal di Bonatama, Desa Poto, kecamatan Fatuleu Barat adalah salah satu tukang sunat tradisional yang laris dikunjungi. Sejak tahun 1980-an hingga hari ini, tangan dinginnya sudah mengkhatan kulit alat vital ribuan pria yang datang dari berbagai tempat. Bahkan, banyak orang sekolahan (mahasiswa dan pegawai) dari kota Kupang yang datang untuk disunat olehnya. Sesuai pengakuannya, beberapa malah sudah pernah disunat secara medis tetapi tidak rapi atau tumbuh lagi kulitnya sehingga harus disunat ulang olehnya. Diyakini, kulit yang disunat tidak akan bertumbuh lagi jika dilakukan secara tradisional.

Biaya sunat yang murah meriah juga ditawarkan oleh mereka. Tahun 2018 itu, Bapak FN mematok biaya sebesar 25 ribu rupiah sebagai ongkos sunat setiap peserta. Baru beberapa waktu terakhir, ongkosnya naik menjadi 50 hingga 100 ribu rupiah. Dengan hasil yang katanya bersihnya maksimal dan perubahan fisik yang luar biasa (badan menjadi berbentuk dan gagah) sesuai profokasi para pria yang pernah ditanganinya, peserta sunat terus berdatangan meski ongkos sunatnya sudah naik. Setiap tahun ada puluhan pelajar SMP dan SMA di sekitar wilayah Fatuleu Barat yang menjadi 'pasiennya'. Di awal musim penghujan pada November 2024, ada puluhan pelajar SMA dan SMP di Desa Poto yang disunat oleh Bapak FN.

Selain lebih murah, lebih bersih, dan juga lebih sehat sesuai profokasi yang selama ini gencar dihembuskan peserta sunat tradisional dalam berbagai ruang dan kesempatan (dalam ruang kelas atau lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial lainnya), proses sunatnya terbilang sederhana. Peserta diarahkan agar begadang semalaman sebelum sunat dilakukan pagi hari. Tujuannya, jelas bapak FN, agar peserta ada dalam kondisi 'kurang darah' sehingga darahnya tidak banyak saat kulit khatannya dipotong. 

Beberapa menit sebelum disunat, peserta diharuskan berendam dalam kolam atau aliran air. Saat berendam, peserta sudah tidak menggunakan celana. Setelah berendam beberapa saat, peserta keluar dari kolam dan proses sunat dimulai. Berbekal penjepit kulit yang terbuat dari dua bilah bambu berukuran secukupnya dan sebuah pisau silet yang sudah disiapkan peserta, kulit khatan dilepas. Ada teknik tertentu saat menjepit dan memotong kulit khatan. Tujuaannya, agar urat tertentu tak ikut terpotong. Tak butuh waktu lama, kulit khatan sudah terpotong. Karena sudah berendam, hanya beberapa bercak darah yang keluar.

Selesai dikhatan, peserta kembali berendam beberapa saat sebelum diobati. Sebelum menempelkan obat, tukang sunat mengambil segumpal pasir atau kerikil untuk kemudian tangan yang menggengam pasir itu diputar tiga kali dengan arah berlawanan atau searah jarum jam di dekat alat vital yang luka, lalu pasir itu dibuang melewati peserta sunat. Bagian ini bermaksud membuang segala beban dari hubungan seksual yang sudah pernah dilakukan oleh peserta sebelum menjalani sunat. Oleh beberapa tukang sunat yang lain, peserta yang menyiapkan kerikil sebanyak jumlah perempuan yang sudah pernah digaulinya. Akibatnya akan fatal jika jumlah kerikil kurang dari jumlah perempuan yang sudah pernah berhubungan intim dengan peserta tersebut. Karena itu, bapak FN menggunakan segumpal pasir atau kerikil dengan asumsi, jumlah kerikil pasti lebih banyak dari jumlah teman intim peserta sehingga tak berbahaya andai pesertanya sudah tak ingat jumlah teman intimnya lagi.

Sebagai obat, daun rumput minjangan (suf muti') yang sudah dilumat kemudian ditempelkan pada luka potong lalu ditutupi/diperban menggunakan secarik kain yang sudah disiapkan sebelumnya. 

Sampai disini, proses sunat sudah selesai. Peserta sudah boleh pulang. Umumnya, peserta kemudian mendatangi tempat kesehatan untuk mendapatkan obat--obatan medis. Hal ini juga direkomendasikan oleh kebanyakan tukang sunat tradisional. Hanya saja, pantangannya, tak boleh makan garam, makanan pedis, dan juga sayur pepaya. 

Peserta juga diwanti--wanti agar melakukan sifon sebelum luka potong benar--benar sembuh. Peserta kemudian menunggu saat yang tepat untuk melakukan sifon.

Bicara Seks bukan Barang Tabu Remaja Sekolahan

FP, teman RH yang saat itu duduk di kelas XI SMAN 2 Fatuleu Barat bercerita, sifon pertama dan keduanya dilakukan pada hari yang sama di lokalisasi KD Tenau. 

"waktu sifon pertama, hanya totok saja. Tidak sampai klimaks. Meski alat vital terasa pedih, tapi luka pada alat vital terlihat langsung mengering. Saya langsung ke kamar yang lain untuk sifon kedua." cerita FP, disambut gelak tawa teman--temannya yang serius mendengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun