Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Bulan Tersenyum

3 Agustus 2017   00:01 Diperbarui: 3 Agustus 2017   00:09 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak itu, beberapa kali aku dikasih ikan secara gratis. Meskipun aku menolak dan ngotot untuk membayar, dia juga tetap untuk ngotot menolak. Dan aku pasti mengalah. Suatu kali uang yang ngotot kusisipkan disaku bajunya dia titipkan kembali lewat adikku yang sekelas dengan dia.

                                                                    ***

"Pak, bulan kemarin kawan-kawan ajak saya untuk tato tapi saya tidak mau. Telinga juga saya tidak lubangi karena saya mau ikut tes tentara setelah lulus SMA nanti" butir bening disudut matanya membuatku tersentuh. Aku tahu dia juga tahu bahwa sebenarnya dia tidak naik kelas. Aku yang nasihati dia agar tidak merusak tubuhnya. Usianya pas 20 tahun jika dia lulus SMA tepat waktu. Dia punya peluang untuk ikut tes tentara. Dan, ini yang jadi bahanku untuk memotifasi dia. Dari pengalamanku berjuang bersama masyarakat yang kebanyakan tidak sekolah, aku tahu bahwa mempengaruhi seseorang dengan pendekatan cita-cita atau mimpinya akan lebih efektiv. Dan aku mulai melihat perubahan dalam dirinya. Meskipun dia sering alpa karena lebih banyak di laut untuk menangkap ikan, sikapnya yang arogan dan preman di luar jam sekolah mulai berubah.

Aku jadi sedih sejak tadi ketika tahu dia dan Lalong tidak naik kelas. Aku sedih bukan karena mulai dekat dengan mereka secara emosional. Bagiku, meskipun menurut dia otaknya terlampau lamban untuk mengerti materi pelajaran, dia punya modal untuk bertahan dalam hidup yang keras ini. Dia jago melaut. Jika melaut, paling kurang 50 ribu bisa dia dapat dari hasil jual ikan tangkapannya. Jiwanya ada di laut. Laut sudah menyatu dengan dia. Tinggal, sikap mereka yang kadang-kadang suka buat onar, mabuk, palak orang yang lewat, boros, hura-hura, suka berjudi, dan nakal yang harus dirubah. Lewat pembiasaan nilai/karakter yang bisa ditanamkan disekolah, aku yakin dia bisa berubah. Dan sekolah bisa jadi wadah untuk menggiring perubahan karakternya.

Aku khawatir karena kecewa, mereka memutuskan untuk tidak sekolah seperti kebanyakan pemuda lain kawan mereka di Maumate, dan kemudian berubah drastis menjadi pribadi yang dianggap meresahkan warga. Aku tahu, dia sudah mulai berubah karena punya cita-cita. Meskipun kemudian jika dia tidak lulus jadi tentara saat tespun, yang penting 2 tahun mendatang ini mereka masih terikat untuk tidak terlalu nakal karena kepatuhan pada guru dan ini waktu yang cukup untuk mempengaruhi karakter mereka.

Tidak jadi pak tentarapun, aku yakin dia akan jadi manusia yang berguna minimal untuk keluarganya. Sekolah bukan hanya untuk mencetak nilai akademik yang bagus. Keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran bukan diukur dari nilai akademik. Meskipun perolehan nilai matematika atau kimia atau semua pelajaran nol sekalipun, dia tetap akan jadi manusia berguna jika dibentuk secara tepat.

"Dia tidak dikasih tuntas karena kebanyakan alpanya. Dia alpa 76 hari pak." jelas pak Sole, wali kelasnya ketika kami diskusi.

Dia dan Lalong memang kebanyakan alpanya. Apakah mereka malas hadir dan lebih banyak bolos pada jam pelajaran tertentu karena sentuhan personalnya kurang mengena? Karena mereka tidak menemukan kenyamanan dalam pembelajaran tersebut? Karena mereka dipaksa berpikir seragam mengangkangi keunikan dan keberagaman kemampuan? Sebab, di mata pelajaran tertentu aku tahu mereka rajin karena aku tahu jelas gurunya selalu senyum dengan mereka dan tak buat ego mereka terluka. Nilai mereka yang jelek saat ulangan atau PR tidak pernah disinggung dalam kelas oleh guru tersebut. Dan, yang paling penting, materi latihan atau soal yang dikasih kepada mereka tidak harus sama sulit dengan teman lainnya. Mereka hanya butuh senyum dan penghargaan yang tulus. Mereka hanya ingin harga diri dan ego mereka tidak dilukai. Mereka hanya korban kegagalan sistem yang tidak mampu menyediakan sekolah yang sesuai dengan jiwa dan passion mereka. Mereka hanya korban dari salah urus pemangku kepentingan yang ikut berkontribusi mengkonstruk karakter mereka sejak dini.

Meskipun tidak mampu secara akademis, mereka punya keunikan dan kelebihan lain yang akan menjadikan mereka jadi manusia berarti jika disentuh secara tepat. Dan, sentuhan itu hanya ada di sekolah yang pengajarnya mau mengerti bahwa masing-masing manusia itu unik dan tidak harus diukur dengan instrumen yang sama dan seragam.

Ah,aku masih sedih. Dan, aku tahu, Menu juga sedih sekali, meski bulan mulai tersenyum malam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun