Mohon tunggu...
Saharudin Sasaky
Saharudin Sasaky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Lepas

Dai diaspora Indonesia dan Melayu di Qatar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Adakah Pinjol Syariah?

5 Agustus 2024   21:51 Diperbarui: 5 Agustus 2024   22:27 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pinjaman online akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak kalangan. Di berbagai media sosial tak jarang kita jumpai para pemberi jasa ini menampilkan iklan-iklannya dengan cara yang sangat massive dan menggiurkan. Tak ayal lagi, pinjaman online kini menjadi alternatif utama generasi millenial dan gen-z untuk mendapatkan dana segar dengan mudah tanpa prosedur yang berbelit-belit.

Ya, hanya dengan bermodalkan dokumen pribadi semisal KTP KK NPWP slip gaji dan nomor hp, dengan sekali klik dana segar jutaan bahkan sampai ratusan juta akan segera cair. Tanpa jaminan dan tidak perlu menunggu lama, kurang dari 24 jam dana sudah didapatkan.

Namun yang sangat disayangkan, di balik kepraktisan dan kemudahan itu, banyak orang pengguna jasa pinjaman online ini justru terperangkap dalam lilitan hutang yang besar. Ini akibat dari besarnya suku bunga yang diberikan dan kurang jelasnya aturan mengenai biaya administrasi. Dengan demikian uang yang dibayarkan jauh lebih besar dari pinjaman yang didapatkan.

Belum lagi jika si peminjam terlambat membayar. Teguran, intimidasi psikis bahkan fisik kerap sekali dilakukan oleh mereka. Sisi pahit dari pinjaman online yang nampaknya anugerah, ternyata membawa musibah.

Lebih-lebih bila pemberi jasa pinjaman online tidak di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi dan mengatur sektor perbankan, perekonomian dan pasar modal. Tentu mereka akan lebih bebas "menyengsarakan" nasabahnya.

Di era financial technology saat ini pinjaman online perkembangannya sangat pesat. Proses pencairan yang sat-set dan tanpa ada jaminan sama sekali menjadikan para konsumen lebih melirik ke platform-platform pinjaman online dibandingkan bank-bank konvensional yang proses pencairan dana nya tentu lebih rumit.

Ada dua permasalahan fundamental yang perlu kita bahas dalam hal ini:

Pertama, pinjaman online ilegal yang menyalahgunakan data-data pribadi nasabah. Data pribadi yang seharusnya tidak dipublikasikan kerap digunakan untuk mencemarkan nama baik dari nasabah. Sehingga timbul keresahan baik di dunia Maya maupun dunia nyata.

Tidak sedikit dari korban pinjol ilegal yang bunuh diri karena tidak tahan atas pencemaran nama baik mereka di media-media sosial yang ada. Oleh karenanya pemerintah seharusnya cepat tanggap untuk membubarkan oknum-oknum pinjol online ilegal ini.  Jangan sampai keresahan-keresahan yang dirasakan oleh masyarakat makin merajalela.

Perlu langkah kongkrit untuk melindungi masyarakat agar tidak "terjatuh lalu tertimpa tangga." Bank-bank yang ada baik yang konvensional maupun yang berbasis syariah perlu melakukan inovasi-inovasi agar masyarakat menjauh dari pinjol-pinjol ilegal ini.

Kedua, Menempelkan istilah SYARIAH pada kata Pinjaman Online yang tentunya mengundang kontroversi. Mengapa demikian? Karena di dalam ilmu fiqih akad pinjam meminjam ini digolongkan sebagai akad sosial bukan akad komersial. Akad sosial tidak berorientasi kepada profit (non profit oriented).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun