"Negara Dalam Keadaan Bahaya", begitu judul tulisan dari seorang Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate, SUKARDI RINAKIT yang dimuat dalam Kompas. com, http://nasional.kompas.com/read/2011/08/16/09463747/Negara.dalam.Keadaan.Bahaya. Tulisan ini adalah perpanjangan dari tulisannya di harian kompas (Selasa 16 Agustus 2011, halaman 15). Dia bercerita bahwa ia bertanya ke beberapakelompok anak muda mengenai persiapan kemerdekaan ke -66. Sampai Sabtu (13/8/2011), dia tidak melihat aktivitas seperti tahun-tahun sebelumnya, termasuk penyelenggaraan lomba dan rencana pentas seni. Dengan enteng mereka menjawab, "Tidak perlu lagi memperingati kemerdekaan. Kita belum merdeka. Para politikus dan koruptor itu yang merdeka. Mereka berkhianat kepada Proklamasi.” Lalu peneliti kita ini berkesimpulan bahwa Negara Dalam Kondisi Bahaya.
Macam-macam tanggapan pembaca tentang tulisan ini, sebagian besar bernada setuju dan beberapa yang menyayangkannya, malah seorang penanggap menilai Ranikit berfikir fatalis. Sudah pasti, kalau kita mengaitkan apa perkembangan yang terjadi di Indonesia dengan tulisan Ranikit kesimpulan logisnya adalah mendukung tulisan ini. Karena, bagaimana tidak, dengan telanjang pemerintah kita mempertontonkan kebobrokan sistem yang dijalankannya. Pemerintah yang seharusnya mengayomi rakyat tapi pada keadaannya malah mengemplangi rakyat.
Di akhir tulisannya, Ranikit berkesimpulan bahwa selain Negara Dalam Keadaan Bahaya juga menunjukkan gejala kekerasan fisik seperti revolusi.
Memang di usianya yang ke 66 tahun, Indonesia masih mengidap beberapa penyakit yang dibawanya sejak lahir. Dia belum memperlihatkan cahaya seperti yang banyak diharapkan pejuang kita dulu. Beberapa Penyakit ini ada yang baru muncul, kemudian hilang setelah mengalami beberapa tahap pengobatan. Namun, untuk penyakit-penyakit tertentu perlu penanganan serius dari tim dokter-nya. Hanya ketua tim dokter yang bijak yang tahu bagaimana menangani amputasi tanpa harus membuat pasiennya shock. Itu pun kalau memang harus dilakukan amputasi dan tidak ada cara lain daripadanya.
Tulisan Sukardi Ranikit yang ia diibaratkan sebagai seorang ketua tim dokter yang lebih tahu bagaimana kondisi pasiennya, tentang negara yang dalam keadaan bahaya, kalau tidak disikapi dengan kepala dingin dan lapang dada, dikhawatirkan akan menjadi pemicu terjadinya chaos. Meski Chaos terjadi tidak segampang itu, tapi kalau kita ingat bagaimana proses Reformasi ("adik" dari proses Revolusi) tahun 1998 di Indonesia? Sangat berbeda kejadiannya saat runtuhnya Uni Soviet, seperti dituturkan seorang WNI yang menjadi saksi sejarah kejadian itu. Dia mengatakan orang-orang melakukan aktivitas seperti biasa tidak ada kerusuhan di Moscow. Masyarakat Moscow yang ditemuinya saat itu mengatakan "Urusan politik biar mereka yang ngatur ". Di sini terlihat beda kematangan berpolitik masyarkat kita Indonesia dengan negara seperti Russia. Padahal di sana terjadi transisi besar tidak saja di satu negara, tapi hampir separuh dunia yaitu runtuhnya Komunis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H