Bersama dua orang kawan, selama sepekan saya menjadi pengembara di Malaysia akhir bulan lalu. Kami menginap di hotel murah, orang Malaysia menyebutnya penginapan pengembara. Kami mendarat di bandar udara Kuala Lumpur atawa Kuala Lumpur International Airport (KLIA) sekitar pukul 11 malam. Seperti sudah dirancang dari Jakarta jauh-jauh hari, begitu masuk bandara kami mencari lokasi menginap di bandara. Mengikuti informasi dari internet yang dikumpulkan kawan saya, kami bergerak ke lantai dua di mana terdapat kantor maskapai Air Asia. Informasi tersebut mengatakan di area depan kantor maskapai ini terdapat tempat untuk tidur bagi backpackper yang kemalaman.
Kami menemukan tempat yang dimaksud. Sangat lapang dan karpetnya empuk. Pokoknya cukup nyaman bagi pengembara dengan bekal sangat terbatas dan kelelahan seperti kami. Namun ketika kami baru saja meletakkan ransel dan duduk-duduk bersandar di tiang-tiang besar, seorang petugas menegur kami. Ia melarang kami tidur di sana. Dia menunjukkan tempat lain yang bisa untuk tidur menunggu pagi. Jadi, kami pun bangun lagi, mengangkat ransel yang terasa semakin berat, lalu berjalan menuju tempat yang ditunjukkan si petugas. Ini adalah lantai tiga, di balkon dekat area untuk merokok.
benteng Kota Tua Melaka
Jadilah kami tidur di sana. Berbeda dengan dua kawan yang mengaku tidak bisa tidur, saya lumayan lelap tidur selama beberapa jam berkat jaket tebal yang membebat badan saya. Di balkon ini memang dingin, karena banyak angin. Kawan-kawan saya yang hanya mengenakan jaket tak terlalu tebal sibuk menghalau dingin hingga tak sempat tidur. Sebelum tidur saya duduk-duduk merokok dan mengobrol dengan seorang TKI asal Surabaya di balkon sambil memandang kendaraan yang hilir mudik di bawah sana. Saya lupa namanya, tapi saya ingat dengan logat dan bahasa yang sudah agak Melayu dia bercerita, sudah dua tahun bekerja di proyek pembangunan jembatan di Trengganu.
“Empat jam naik bas dari bandara,” dia bilang. Lelaki yang saya taksir berusia akhir 20-an itu baru tiba dari Surabaya bersama beberapa kawannya setelah dua tahun merantau di negeri jiran. “Banyak orang Jawa di Trengganu,” ujarnya. Dia meminjam geretan kepada saya untuk membakar rokok. Sebetulnya saya ingin ngobrol lebih lama seandainya sanggup mengelak dari gempuran kantuk yang begitu ganas.
Kami bangun sekira pukul 6. Di Malaysia pukul segitu cuaca masih temaram. Tapi saya tidak dapat melanjutkan tidur. Secara bergantian kami ke tandas awam, ini sebutan untuk toilet umum di Malaysia, untuk sekadar cuci muka dan menyelesaikan panggilan alam lainnya. Lantas kami bergerak ke lantai bawah mencari sarapan di restoran cepat saji sebelum mencari loket penjualan tiket bus yang ke Central Melaka.
Sebelum saya lanjutkan, ada baiknya saya ceritakan kenapa saya datang ke Malaysia. Semua karena dua orang kawan saya. Mereka adalah para penulis fiksi. Satu penulis novel yang sangat berbakat dan yang lainnya editor dan penganggit cerita anak dengan bakat biasa-biasa saja; karya mereka diterbitkan oleh penerbit Malaysia. Mereka diundang oleh penerbit di sana untuk hadir dalam pameran buku antarbangsa di Putra World Trade Center, Kuala Lumpur, untuk acara jumpa penulis dan sekaligus membantu promosi penjualan buku. Saya sudah membaca sebuah novelnya—juga diterbitkan di Malaysia beberapa tahun sebelumnya—yang mengolah tema LGBT secara sangat menarik dan sedang proses diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh yayasan yang bergerak di bidang promosi sastra Indonesia ke luar negeri di Jakarta—semoga saya punya kesempatan membagi hasil pembacaan novel itu blog ini.
Dua kawan pengarang inilah yang menjadi lantaran pengembaraan saya ke Malaysia. Sebelumnya saya tidak pernah memasukkan Malaysia dalam daftar negara yang ingin saya kunjungi. Saya akan memilih Thailand, Kamboja, Vietam, Tibet, Nepal, India untuk saya sambangi ketimbang Malaysia. Tapi begitulah, berkat dua kawan pengarang ini saya akhirnya lebih dulu mengunjungi negeri jiran yang acap membuat kita geram.
Mari saya lanjutkan, dari KLIA kami naik bus ke Melaka Central, tiketnya ditebus 24 Ringgit perorang. Ini semacam terminal bagi bus bus dari dan ke berbagai kota tujuan di Malaysia. Waktu tempuhnya hanya sekitar 2 jam dari KLIA. Dari sana perjalanan disambung dengan bus berikutnya ke wilayah Kota Tua Melaka dengan tarif 1,5 Ringgit. Kami menginap di penginapan yang terletak di antara bangunan ruko yang tertata tertib dan lumayan bersih, tepatnya Guest House Lavender, Plaza Mahkota, Jalan PM 3, 75100 Melaka. Kami mendapatkan penginapan ini melalui jasa booking hotel online yang sangat memudahkan itu. Tarifnya hanya sekitar 60 Ringgit dengan fasilitas dua tempat tidur dan kipas angin kuno berbaling-baling besar di tengah ruangan. Kami mendapat sarapan roti tawar lengkap dengan pilihan selai, dan bisa menyeduh kopi sendiri semaunya. Hanya ada dua kamar mandi di setiap lantai, tapi itu sudah cukup bagi saya.
Kami menginap hanya semalam di kota ini. Kota Tua Melaka, destinasi wisata yang menjadi andalan kota ini habis kami kelilingi hanya dalam waktu dua jam. Itu kami lakukan setelah chek in sekitar pukul 10, mandi dan istirahat beberapa jam. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari tempat kami menginap. Kota Tua Melaka barangkali semacam Kota Tua di Jakarta. Hanya saja, Kota Tua Melaka lokasinya di bebukitan dan terawat apik. Berada di kawasan yang tidak padat. Bangunan-bangunan tua, termasuk gereja peninggalan masa kolonial, museum, pekuburan, balai seni, dan tentu saja pedagang cendera mata. Ohya, ada sungai dengan bangunan kayu di atas sempadannya yang luas dan nyaman buat duduk-duduk. Kafe-kafe tentu tidak pernah absen di area wisata. Di seberang Christ Church Melaka berangka tahun 1753 terdapat replika kincir angin Belanda, padahal Malaysia koloni Inggris. Kawan saya minta diambil gambarnya di sana. Cekrek!
Yang menarik, becak-becak berhias semarak aneka bunga angkutan para wisatawan di Kota Melaka mengalunkan lagu-lagu dangdut Tanah Air, antaranya lagu Sir Gobang Sir, Sir, Gula Gula Jawa Wa...Sir Boleh Naksir Sir Kalau Abang Cintaaaa...
Bersambung…