Sabtu pekan kemarin aku nonton konser Simfoni Negeriku Twilite Orchestra di Aula Simfonia, Kemayoran, Jakarta. Asyik. Menghibur. Permainan musik mereka terus menggaung dan meninggalkan kesan menyenangkan dalam benakku berhari-hari setelahnya. Biasalah, kalau aku nonton konser musik klasik atawa pertunjukan apa pun yang harga karcisnya ratusan ribu ke atas, artinya aku nonton secara gratis.
Aku selalu senang menonton pertunjukan musik, apalagi disertai tarian. Hentakan musik dan gerakan para penari seperti memompakan energi yang membuatku bergairah. Paduan musik dan dan gerak tari mampu melarikan pikiranku dari segala keruwetan. Bahkan konser musik klasik pun mampu memberikan sensasi yang sama dalam benakku. Alunan musik klasik terasa begitu megah dalam semesta pendengaranku. Ketika Twilite Orchestra memainkan lagu perjuangan ‘Syukur’, aku merasa tersentuh, hatiku tergetar, lalu basahlah kelopak mataku.
Terus terang aku memang mudah sekali merasa terharu. Jangankan adegan-adegan ‘mengiris’ di sebuah film, rangkaian kalimat dalam cerita pendek atawa novel pun dapat dengan mudah membuatku terharu dan menangis sesenggukan—sesentimentil itu memang, apa boleh buat. Bukan hanya adegan yang ‘mengiris’ sahaja yang membuat kelopak mataku memanas.
Adegan-adegan yang membangkitkan kegembiraan atau menghidupkan kepada kenangan tertentu yang membekas juga sangat mudah membuat dadaku hangat dan mataku basah. Sebenarnya aku malu juga dengan kelakuanku ini kalau ada yang tahu. Makanya selalu aku sembunyikan. Aku adalah lelaki dengan hati yang lembut, rapuh, dan mudah trenyuh. Ehem…
‘Keguncangan’ menyaksikan pertunjukan kesenian ini, tidak ada kaitannya dengan kualitas kurasa. Tapi konser musikSimfoni Negeriku yang kusaksikan sungguh sangat bermutu. Setidaknya itulah yang kupercayai dari nama besar Twilite Orchestra. Permainan musiknya sangat membius, terutama pada bagian pertama  konser saat mereka memainkan nomor-nomor lagu tradisional, seperti Bungong Jeumpa dari Aceh, Alusi Au dari Sumatera Utara, Ayam Den Lapeh dari Sumatera Barat, hingga Bengawan Solo dari Jawa Tengah dan Yamko Rambe Yamko dari Papua.
Selain intrumentalia, Twilite Orchestra mengiringi penyanyi Lea Simanjuntak dan Daniel Christianto, dan harpaist Rama Widi. Di sela konser, Addie MS sempat berkhotbah bahwa musik bukan sekadar hiburan. Tapi juga berfungsi efektif untuk mengobarkan semangat. "Hitler mengobarkan semangat serdadunya sebelum berperang dengan musik," kata Addie. Aduh kenapa contohnya Hitler sih, Mas? Doi 'kan pembantai kaum Yahudi... Ironis.
Ohiya,  sementara aku larut menikmati konser, memberikan aplaus setiap satu nomor selesai dimainkan, kawan fotografer yang datang bersamaku mengaku merasa mau mati menyaksikan konser musik klasik saking tersiksanya. Makanya  begitu urusan menjepret beberapa gambar, dia langsung cabut. Ironis lagi 'kan?
Tidak rugi rasanya aku menerobos hujan yang begitu deras seusai maghrib menangkup langit Jakarta. Tidak rugi meninggalkan acara diskusi rutin bersama kawan-kawan di Tangerang secara terburu-buru. Waktu aku sampai di lobi Aula Simfonia hujan mulai mereda, dan orang-orang yang hendak menyaksikan konser masih berdiri di sana.
Mereka adalah kaum sosialita. Sejujurnya aku gerah berada di tengah-tengah mereka. Tak kunjung terbiasa. Tapi demi nonton konser musik klasik secara gratis, rasa gerah di tengah para sosialita dapat kutahankan. Â
Aku menunggu seseorang dari perusahaan yang menyeponsori konser ini menghampiriku dan memberiku akses masuk ke ruang pertunjukan. Seusai pertunjukan aku sempatkan ngobrol-ngobrol sejenak dengan Addie MS yang tak henti-henti meladeni penonton untuk foto bareng. Kelakuan mereka—para sosialita narsis ini—memang menjengkelkan. Menjelang tengah malam aku pulang menumpang mobil kawan yang perusahaannya menyeponsori konser. Aku lekas-lekas tidur karena esoknya aku pulang ke Cirebon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H