Mohon tunggu...
Aris Kurniawan
Aris Kurniawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Setan, 2007). Bisa ditemui di belagaresensi.blogspot.com, aris.kurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Revolusi dari Desa: Upaya Mempertahankan Bangsa

25 November 2014   16:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337507" align="alignright" width="150" caption="Model diperani oleh Robi"][/caption]

Judul Buku : Revolusi dari Desa (Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat)

Penulis : Dr. Yansen, TP., M.Si

Penerbit : Elex Media Komputindo

Tahun Terbit : 2014

Tebal Buku : xxv + 194 hal

ISBN               : 978-602-02-5099-1

Pembangunan menjadi mantra para pejabat pemerintah. Ia menjadi dalih bagi aksi penggusuran, pembabatan hutan, pengerukan bukit, pembongkaran situs situs sejarah. Desa sebagai basis sebuah bangsa menjadi korban paling parah dari jargon pembangunan semacam itu. Sebagian masyarakat desa, terutama anak-anak muda, kemudian berbondong-bondong meninggalkan desa. Yang tersisa hanya orang-orang tua dan anak-anak. Potensi desa yang besar akhirnya tak tersentuh dan terabaikan. Kenyataan ini jelas membuat miris.

Siapakah yang salah dan bertanggung jawab? Buku karya Dr Yansen TP., M.Si bertajuk “Revolusi dari Desa” mencoba menguliti dan menawarkan solusi atas persoalan yang terus berlangsung di negeri ini dari dekade ke dekade. Buku yang lahir dari pengalaman Yansenmemimpin daerahnya yang mulai dari bawah hingga kemudian menjadi bupati ini, menengarai bahwa persoalan itu terjadi lantaran pola pembangunan yang salah. Pejabat pemerintah masih selalu memperlakukan desa dan warga desa sebagai objek dan bukan subjek pembangunan. Perlakuan ini cerminan dari ketidak percayaan pemerintah kepada warga desa. Mereka seakan komunitas yang tidak punya inisiatif, tak memiliki gagasan-gagasan, tak mengerti kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah tak pernah mengajak mereka terlibat dalam merancang pembangunan, alpa memberi kepercayaan kepada warga desa untuk mengungkapkan ide dan gagasan.

Selama ini yang dilakukan pemerintah lebih banyak memaksakan konsep-konsep pembangunan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan warga desa. Dalam kondisi seperti itu, partisipasi warga desa terhadap pembangunan jadi sangat rendah, bahkan tanpa partisipasi sama sekali. Konsep pembangunan dengan program sehebat apa pun tanpa partisipasi warga desa akan berakhir pada kegagalan. Inilah yang terus terjadi dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain yang datang silih berganti. Program-program pembangunan pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan antara lain misalnya mengubah fungsi lahan produktif menjadi mal, real estate. Padahal pembangunan mal bukan hanya terlalu sedikit menyerap tenaga kerja, tapi juga menyuburkan pola hidup konsumtif warga desa. Bahkan dalam jangka panjang pola pembangunan semacam itu akan mencerabut warga desa dari akar budaya mereka.

GERDEMA

Konsep pembangunan desa yang coba ditawarkan dan telah diterapkan Yansen yang kini Bupati Malinau, Kalimantan Utara, dirumuskan dalam konsep Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) yang terbukti mampu menjadikan warga desa mandiri dan produktif. Sesuai rumusan GERDEMA, filosofi gerakan ini adalah mengajak dan merangsang warga desa untuk membangun desa mereka sesuai kebutuhan dan budaya yang berlaku di desa mereka sendiri. Pemerintah harus sadar bahwa yang paling memahami persoalan dan kebutuhan warga desa adalah warga desa itu sendiri. Pemerintah cukup memposisikan diri sekadar sebagai fasilitator untuk mewujudkan ide dan gagasan warga desa dalam membangun desa mereka. Pola seperti ini jelas berbeda dan berkebalikan dengan konsep Gerakan Membangun Desa yang selama ini kita kenal. Gerakan Membangun Desa menerapkan pola pembangunan yang digerakkan dari atas sambil mengabaikan gagasan dan partisipasi warga desa sendiri.

Gerakan Desa Membangun yang ditawarkan Yansen sejatinya menyadarkan kita semua untuk mencintai dan mempertahankan desa tapi bukan dalam semangat romantik melainkan dengan langkah nyata yang serba terukur. “Kalau warga punya lahan, mereka harus disadarkan untuk mempertahankan lahan mereka dan mengedukasi mereka bahwa lahanmu adalah hidupmu,” tegas Yansen dalam bincang-bincang dalam peluncuran buku “Revolusi dari Desa” yang digelar Kompasiana beberapa minggu lalu.

Kenyataan yang kita lihat, di desa saya sendiri misalnya, begitu banyak lahan yang tersia-sia. Lahan-lahan itu hanya dapat berproduksi di saat musim hujan. Padahal, apabila pemerintah mau melihat dan mendengar kebutuhan dan potensi desa, tidak terlalu sulit mengubah lahan tidak produktif menjadi produktif sepanjang tahun. Bagaimana menangani gunungan sampah, mengolahnya menjadi bernilai ekonomi dan sebagainya.Pemerintah harus mengajak bicara warga desa apa yang perlu dilakukan secara bersama-sama.

GERDEMA mendorong dan menjadikan setiap pemerintahan desa mampu berfungsi seperti yang disyaratkan dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014. Kepempinan dalam GERDEMA menekankan pemimpin yang mampu mengelola tugas sesuai dengan posisi, tugas pokok, dan fungsi yang diembannya. (Hal 85). Buku ini memberi panduan bagaimana seorang pemimpin setiap bangun tidur dan datang ke kantor tahu apa yang harus ia lakukan. Paham bahwa tugas pemerintah desa tidak hanya pada fungsi-fungsi administratif seperti mengurus KTP dan Kartu Keluarga.Melainkan ia juga harus terjun langsung ke bawah, menemui dan melihat persoalan dan kebutuhan warganya. Tanpa ‘turba’ pemimpin tak akan pernah tahu apa sesungguhnya yang menjadi persoalan dan kebutuhan warga. Keberhasilan GERDEMA dapat diukur dari meningkatnya pendapatan masyarakat desa serta kemampuan mereka menciptakan lapangan kerja di desa. Dan itu yang terjadi di Malinau setelah dua tahun konsep GERDEMA digulirkan.

GERDEMA mengubah paradigma dan cara pandang pemimpin dalam melihat dan menggulirkan pembangunan di desa sebagai basis penting sebuah bangsa. Cara pandang yang menjadikan desa sebagai pusat dan konsentrasi berpikir dan beraktivitas dari setiap gerak pembangunan yang dilaksanakan pemerintah daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan model orientasi aktivitasnya tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (Hal 46)

Indonesia adalah negeri dengan potensi alam yang melimpah. Koes Ploes menggambarkan dalam sebuah syair lagu sebagai: Bukan lautan hanya kolam susu/Kail dan jala cukup menghidupmu/Tiada badai tiada topan kau temui/Ikan dan udang menghampiri dirimu//Orang bilang tanah kita tanah surge/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman/Orang bilang tanah kita tanah surge/Tongkah kayu dan batu jadi tanaman/. Namun, tanpa kemauan dan kemampuan pemerintah mengelolanya, potensi yang luar biasa itu justru berbalik jadi bencana.

Apabila pemerintah memberikan kepercayaan warga desa, mendidik mereka mandiri sehingga mampu memenuhi kebutuhan mereka dari potensi yang begitu besar di desa mereka, saya rasa kenaikan harga BBM yang memicu inflasi tidak akan terlalu berpengaruh bagi kehidupan ekonomi warga desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun