Bulan Oktober adalah bulan yang memiliki makna sejarah sangat besar bagi bangsa Indonesia, karena pada tanggal 28 Oktober 1928 telah tercetus sebuah komitmen para pemuda Indonesia yang kita kenal dengan SUMPAH PEMUDA. Salah satu bunyi butir sumpah yang disepakati para pemuda saat itu adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dari sinilah, maka bulan Oktober dikukuhkan sebagai Bulan Bahasa.
Seiring berjalannya waktu, sepertinya kita perlu intronspeksi diri mengenai sejauh mana kecintaan kita dan kepedulian kita terhadap bahasa Indonesia. Sebab dalam kehidupan sehari-hari masih sering kita jumpai masyarakat kita yang mempunyai anggapan negatif terhadap bahasa Indonesia. Antara lain, bahasa Indonesia dianggap kurang ilmiah dan kurang intelek dibanding dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena bahasa Indonesia adalah milik sendiri, dan sebagainya.
Pernahkah kita membayangkan, bagaimana seandainya bangsa Indonesia tidak mempunyai bahasa Indonesia? Dari sini perlu kita sadari bahwa pada hakikatnya setiap bangsa memerlukan alat tunggal untuk berkomunikasi dalam setiap kegiatan warga bangsanya. Sampai-sampai ada ungkapan “rakyat tanpa bahasa nasional hanyalah setengah bangsa”. Sebagai ilustrasi, bangsa Belgia sampai saat ini harus menggunakan dua bahasa resmi (bahasa Perancis dan bahasa Belanda) yang keduanya bukan bahasa asli mereka. Bangsa Swiss terpaksa harus menggunakan empat bahasa sekaligus (bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Romans) yang keempatnya juga bukan miliknya sendiri. Sedangkan Kanada karena kenyataan historis mengharuskan dan menetapkan dua bahasa resmi (bahasa Inggris dan Perancis) yang keduanya juga bukan bahasa mereka. Terkait dengan hal tersebut, bangsa Indonesia termasuk bangsa yang beruntung karena memiliki bahasa nasional.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional keberadaannya pun memiliki landasan hukum secara formal yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945. Adanya bahasa Indonesia dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku. Selain itu, dengan memiliki bahasa Indonesia, bangsa Indonesia dapat menunjukkan jati dirinya kepada bangsa lain. Inilah fungsi bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Bukankah ada ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”. Dari sini seharusnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bangga terhadap bahasa Indonesia.
Kebanggaan dan kecintaan kita kepada bahasa Indonesia tersebut tentu tidak cukup bila hanya diucapkan. Namun, perlu pula ditunjukkan dalam perilaku kita dalam keseharian. Antara lain, selalu berupaya untuk mau belajar memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Misalnya, pemakaian kata “merubah” atau “mengubah”, “mencontek” atau “menyontek”, “mempesona” atau “memesona”, dan sebagainya. Untuk mengetahui mana yang benar, tentu kita harus selalu belajar.
Selain itu, sikap positif kita dapat pula ditunjukkan melalui pemakaian bahasa yang sesuai keperluan. Artinya, penggunaan bahasa asing hanya akan dilakukan bila memang diperlukan karena tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kedwibahasaan atau ketribahasaan tidak merugikan, bahkan menguntungkan pemakai bahasa asal tidak mengorbankan bahasa kebangsaan sendiri. Sehingga dalam Sumpah Pemuda butir ketiga, para pendahulu kita pun tidak memaksakan kita untuk ”berbahasa satu”, tetapi ”menjunjung tinggi bahasa persatuan”.
Bahasa Indonesia adalah milik kita. Bahasa Indonesia lahir berkat upaya pada pendahulu kita untuk mempersatukan bangsa. Bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa. Oleh karena itu, kita pula yang wajib menjaga, membesarkan, dan melestarikannya. ##
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H