Gelombang samudra perjalanan kehidupan telah menyeret hidupku dalam permainan waktu yang tidak lucu sama sekali. Jatuh cinta antara kau, aku dan dia ini benar-benar menyiksa.Â
Apa aku begitu naif? Atau memang  sebuah kebodohan. Kalbuku mengerang kesakitan, meraung-meraung menahan goresan luka dan sayatan yang menyambar jiwa karena terjebak dalam labiirin delima pahit yang mengasyikan.Â
Hanya tinggalkan sepi yang menyiksa, aku terjerembab dalam rindu yang mengulung-gulung dahsyat memenuhi mata, minda dan dada.Â
Terbang laksana sebuah mimpi, hatiku seperti ranting pohon yang terbagi. Bila satu ranting itu patah, ia menderita tapi tidak akan mati.Â
Karena terganti oleh tunas baru saat musim semi. Benarkah demikian? Tidak, kenyataanya aku kini justru tidak percaya lagi dengan apa itu yang di sebut cinta. Apalagi wanita? Semua sama saja, pembohong dan menyebalkan.Â
Tidak, atau justru aku yang sebaliknya? Entahlah. Biarlah lewat rangkaian aksara tak bernyawa ini, kutitipkan rasa yang menyiksa agar kau dan dia mengerti bahwa cintaku bukan terlahir karena paksa atau nafsu semu melainkan kenyataan pahit menyebalkan yang mengasyikan.Â
Cukup sudah sampai di sini saja. Semua telah berakhir... Yakin? Atau justru ini baru saja di mulai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H