Kesunyian malam memiliki tangan selembut sutra, melalui jemarinya yang kuat, ia mencengkeram jiwa serta menyakiti hati dari kesedihan. Para prosais dan penulis berusaha memahami kebenaran tentang sunyi, namun hinga hari ini tidak ada satu jawaban pasti. Sebab hanya memandang kesunyian  dari kesedihan, mereka tidak nampak apa-apa kecuali selaksa pesakitan.Â
Taukah kamu apa yang paling menyiksa dalam kesunyian malam? Adalah saat rindu membelenggu tidak berkesudahan. Â Demi cahaya tujuh warna penerang keindahan, yang terus saja melaju meski kukatakan berhenti, kita masih berpelukan meski hanya dalam bayangan sunyi dengan sebelangga rindu di februari.
Pagi ini aku tengah memikirkanmu, mengingat semua hal tentangmu. Berbagai cerita telah kita lewati, tawa, canda, menangis, bahagia, semuanya menjadi cerita yang menyeri dalam hati. Andai saja hari itu kau tidak sakiti aku, mungkin ribuan diksi tidak akan penah tertata apik dalam setiap prosa cinta yang aku tulis.Â
Terimakasih telah menyakitiku dengan pengkhianatan, mencampakan diriku hingga terjatuh terjerembab dalam lembah sunyi tidak berkesudahan. Hari-hari berlalu laksana mimpi, bahkan air mata ini sudah mengering gersang menjadi butiran batu, memenuhi mata, dada tidak terkendali. Â Semua menjadi sunyi di Februari.Â
Hatiku rela meneteskan darah yang membakar, asal semua ini cepat berakhir. Berikan saja senyummu itu untuk suamimu, karena aku tidak lagi mampu menerimamu kembali. Di sini, di bulan Februari, luka hatiku telah terobati oleh perempuan lain yang lebih mengerti akan kesunyian jiwaku.Â
Maaf....Â
Jakarta 04/02/2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H