Oleh: Bekti Yustiarti
Molas, itulah nama gadis kecil berusia delapan tahun. Molas dalam bahasa Manggarai berarti cantik, anak sulung dari tiga bersaudara. Dia duduk di bangku SD kelas tiga, memiliki adik berusia enam tahun dan adik yang terakhir 3 tahun. Kedua orang tuanya bekerja sebagai petani.
Molas tinggal di sebuah kampung yang bernama Kasong yang terletak di kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Perjalanan menuju kampung itu sangat jauh. Apabila ditempuh dari Jakarta, berangkat dari bandara Soekarno Hatta menuju bandara Komodo, Labuan Bajo kurang lebih 3 jam. Labuan Bajo adalah pusat kota kabupaten Manggarai Barat. Dari sana harus naik minibus selama 5 jam, disambung dengan ojek sejauh 13 km, maka akan sampai di Kampung Kasong. Letaknya berada di lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Wah…rasanya cukup lelah kalau hanya membayangkan saja, tetapi kalau dilakukan sangat seru.
Kegiatan yang dilakukan Molas sehari-hari adalah sekolah dan membantu orang tua di ladang. Dia tinggal dalam keluarga yang sederhana. Setiap pagi, Molas dan adiknya ke sekolah tidak ada transportasi yang mereka gunakan selain berjalan kaki, jarak dari rumah menuju sekolah 3 km. Butuh waktu 1 jam untuk berjalan kaki karena jalan yang belum beraspal itu seperti sungai kering yang tinggal batu-batu berserakan. Kalau musim hujan tentu saja jalannya berubah menjadi lumpur yang berbatu dan licin. Sepulang sekolah pergi ke ladang, walau sekadar membawakan air minum untuk bapak dan mamaknya. Semangat Molas tidaklah berkurang, sambil sekolah dia menjajakan jagung rebus buatan mamaknya. Udara yang sangat dingin mengharuskan mereka saat pergi ke sekolah menggunakan selimut kain khas daerah Manggarai, bentuknya seperti sarung.
“Bapak, Mamak, kami pergi sekolah dulu ya.” Molas dan adiknya berpamitan.
“Iya, anakku hati-hati di jalan dan belajar yang rajin!”
Pesan mamaknya. Dari dalam rumah bapak juga berpesan. “Minggu depan kalian akan Bapak ajak jalan-jalan ke kota.”
“Benarkah, Pak?”
“Hore…pergi ke kota naik oto.”
Sepanjang perjalanan ke sekolah Molas sudah membayangkan berjalan-jalan di kota. Banyak mobil, banyak motor, jalannya halus, banyak pedagang, banyak toko-toko, seperti yang diceritakan oleh guru-guru di sekolah. Molas pernah ke kota, tetapi itu dulu waktu usianya masih dua tahun, tentu saja sudah lama dan tidak ingat.
Fasilitas di sekolah sangat minim, hanya ada meja, kursi, dan papan tulis. Buku-buku juga terbatas. Tidak ada computer, tidak ada kolam renang, tidak ada AC.
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Molas sudah tak sabar, ia bangun lebih pagi dari hari biasanya karena takut terlambat dan tertinggal oto. Oto adalah satu-satunya alat transportasi di Kampung Kasong. Oto merupakan mobil truk yang diubah menjadi angkutan umum. Bagian atas ditutup terpal untuk melindungi panas dan hujan lalu pada bagian baknya diberi kursi kayu yang memanjang sebagai tempat duduk penumpang. Oto hanya berjalan satu kali dalam sehari, berangkat pagi dan pulang pada sore hari. Apabila sudah tertinggal oto, maka harus jalan kaki sampai ke pangkalan ojek.
“Mamak, anak-anak sudah siapkah?” Tanya bapak.
“Sudah, Pak. Mereka sudah siap-siap semua dan tak sabar menunggu oto datang.”
“Ayo kita tunggu di depan rumah!” ajak bapak sambil menggendong si bungsu.
Dari jauh oto sudah terlihat, berjalan diantara sawah-sawah, terlihat begitu pelan karena jalannya bergeronjal. Sesampainya di depan rumah, Molas sekeluarga bergegas naik ke oto. Molas duduk sendiri sementara kedua adiknya dipangku oleh bapak dan mamaknya.
Dalam perjalan ke kota, Molas sangat senang. Sambil menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan di sekolah, ia tampak ceria. Oto melintas di hamparan sawah-swah yang bentuknya seperti tangga berwarna hijau, mengelilingi bukit-bukit yang ditumbuhi pohon cemara, serta melewati hutan dengan pohon-pohon besar. Tiga jam sudah perjalanan di atas oto, keramaian sudah mulai tampak, berpapasan dengan motor, mobil, dan orang-orang yang lalu lalang.
Keluarga Molas turun dari oto. Bapak berpesan kepada sopir oto agar waktu pulang tidak ditinggal. Dalam perjalananan yang lama tentu saja melelahkan. Bapak mengajak makan dulu di warung bakso.
“Bapak, ini bakso terbuat dari apa?” Tanya Molas.
“Bakso ini terbuat dari tepung, daging, dan bumbu-bumbu. Enak tidak?”
“Enak sekali rasanya, ya.”
“Bakanlah yang banyak biar kalian kenyang. Nanti Bapak belikan yang mentah aar dimasak Mamakmu di rumah.”
Setelah rasa lelah dan rasa lapar terobati. Molas sekeluarga berjalan-jalan di kota, masuk ke took-toko perelengkapan sekolah serta membeli beberapa barang yang mereka butuhkan. Tak terasa jam yang berada di bundaran kota sudah menunjukkan pukul 14.00 WITA. Dan mereka harus siap-siap menuju oto untuk pulang. Sebelum naik oto, bapak mengajak berfoto bersama yang langsungdicetak untuk kenang-kenangan.
Sesampainya di rumah mereka tampak lelah, semua beristirahat sambil tak henti-hentinya Molas menceritakan pengalaman di kota tadi siang. “Terima kasih Bapak sudah mengajak kami jalan-jalan ke kota.” Ucap Molas. “Iya Nak, kamu harus belajar yang rajin biar jadi orang sukses dan bisa memajukan desa kita, supaya kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota. Mudah-mudahan panen kita juga hasilnya banyak supaya kalian bisa terus sekolah” seru ayahnya. “Baik Bapak, molas dan adik-adik akan belajar rajin.”
Sejak saat itu, Molas rajin belajar dan selalu mendapat nilai yang bagus di sekolahnya, selain itu ia juga tak pernah mengeluh dengan fasilitas yang terbatas di sekolah. Dalam benaknya Molas menjadi orang yang berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H