Mohon tunggu...
Bekti Gojagie
Bekti Gojagie Mohon Tunggu... -

Pikiran sering lupa bahwa ada banyak ingatan dalam dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senayan – Istana PP

17 Desember 2015   16:16 Diperbarui: 17 Desember 2015   16:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin itu (16/12/2014), ketika Senayan menjadi perhatian publik dengan digelarnya sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), ternyata di istana tengah berlangsung jagongan yang terkesan aneh dan tidak biasa namun gayengnya ndak umum. Jika di Senayan 17 anggota MKD bersidang untuk memutuskan ‘nasib’ ketua DPR Setya Novanto terkait kasus perpanjangan kontrak karya Freeport, di istana 17 pelawak diundang hadir untuk menyambung silaturahmi dan tidak untuk memutus apa-apa, kecuali mungkin insidentil putus kolor jika saja ada hadirin gendut yang terlalu ekstrim kadar kemlembungan perutnya saat tertawa.

Ketika di Senayan secara bergantian anggota MKD yang berasal dari beragam parpol itu membacakan putusan dengan banyak pertimbangan dan perbincangan sebelumnya, di istana para pelawak yang berasal dari beragam aliran itu bergantian melontarkan kisah-kisah lucu yang spontan dan seolah njepat begitu saja. Yang satu tone-nya tegang, yang satu lagi tone- just kiddang (a mohon dignati i).

Mereka yang di istana itu pada tertawa terbahak-bahak karena lelucon-lelucon yg lucu. Sungguh terlalu.. Sementara di Senayan, walau serius, dan walau ada juga yang menganggapnya lucu, orang-orang tidak tertawa. Bisa jadi mereka malas tertawa karena khawatir nanti dikira mengejek, mengolok-olok atau bahkan menghina. Atau ada juga yang tertawa lalu diam karena sadar resiko bisa disikut tetangganya.

Ketika di Senayan banyak orang menduga-duga isi kepala dan hati dari mereka yang bersidang di balik keputusan yang diambil dalam sidang, di istana sepertinya itu tidak ada. Tidak ada kecurigaan ataupun prasangka, tidak ada yang terduga apalagi tersangka. Paling-paling isi kepala Pak Presiden saja yang beberapa pihak lantas bertanya-tanya. Ada apa ini kok waktunya bersamaan? Sengaja dipas-pasinkah? Ataukah ini sanepo? Kenapa juga kok jumlahnya juga tujuh belas?

Ketika di Senayan mungkin ada saja di antara mereka yang makan hati, di istana para pelawak jelas maem suguhan beneran. Sesudah acara selesai, para pelawak itu banyak memberi testimoni dan kesan-kesan yang bahagia berbalut jenaka, sementaran di Senayan, ada saja yang sepertinya masih kurang terima dengan ini itu terkait persidangan. Dan  mungkin sesudah para pelawak itu pulang, malamnya mereka pada bisa mak blek sek, tidur pules ngorok nggar-nggor, sementara yang dari Senayan mungkin ada yang gelisah, gedabigan sudah tidur, atau mungkin bahkan gak pulang sekalian.

Ah, maafkan saya, tapi antara Yang Mulia dan Yang Jenaka toh gak bisa diperbandingkan. Wong ya mereka itu wakil rakyat. Atau jangan-jangan karena yang mereka wakili itu termasuk para pelawak ini lantas kemudian mereka berkenan mewakili kejenakaannya pula? Ah, su, dahlah,  jangan berburuk sangka. (spuk)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun