Rengasdengklok, 29 Agustus 2015. Setelah siang yang panas dan berdebu, malam di Rengasdengklok terasa lebih syahdu. Bulan nampak bulat terang di atas Tugu Kebulatan Tekad. Malam itu, bulan tengah berada di titik perigee, titik terdekatnya dengan bumi. Malam itu pula, banyak orang berkumpul di sekitar Tugu Kebulatan Tekad untuk mendekatkan diri pada makna kemerdekaan bangsa melalui acara syukuran bersama 70 tahun Indonesia Merdeka. Tak jauh dari tempat itu, sinar bulan memantul di permukaan sungai Citarum seakan mengingatkan pentingnya kesadaran untuk tidak pernah melupakan mata air pertamanya, untuk mengenali arusnya, merawat aliran sungainya, membersihkan sampah-sampah yang mendangkalkannya, mencegah abrasi dan menjaganya demi kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan generasi ke generasi.
Di pelataran Tugu Kebulatan Tekad, hadir membaur warga dari berbagai tempat dan kalangan. Sejumlah pejabat negara, wakil rakyat, kalangan pecinta sejarah, orang-orang muda entah dari organisasi atau perkumpulan mana saja, dan warga masyarakat mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu hingga anak-anak. Mereka duduk di kursi yang sama dengan ditemani suguhan sederhana singkong dan umbi serta kacang polong rebus.Di luar pagar, selain para pedagang kaki lima dan warga setempat, banyak pengendara motor yang berhenti dan turut menyimak acara malam itu.
Acara syukuran rakyat ini sendiri digagas oleh Yayasan Bung Karno dan PARA Syndicate. Menurut Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo, acara ini digelar sebagai ungkapan syukur atas 70 tahun Kemerdekaan Indonesia, dengan dua pesan sejarah dari Rengasdengklok. Pertama, bahwa Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah Jepang, dan kedua, bahwa Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat bersama para pemimpin pergerakan. "Kami mengajak generasi muda Indonesia untuk bersama-sama menciptakan sejarah Indonesia masa depan melalui refleksi sejarah Indonesia seperti pesan Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah," ungkapnya.
Tujuh puluh tahun yang lalu, yakni pada tanggal 16 Agustus 1945, Rengasdengklok memang telah menjadi saksi kebulatan tekad para pemuda Indonesia untuk secepatnya mewujudkan kemerdekaan. Dengan maksud itu, mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta dari Jakarta Rengasdengklok ini dan mendesak agar kemerdekaan segera diproklamirkan. “Rengasdengklok sungguh menjadi pangkal perjuangan yang mendorong kemerdekaan Indonesia," imbuh Giat Wahyudi dari Yayasan Bung Karno.
Turut hadir dalam acara ini antara lain cucu Bung Karno, Puti Guntur Soekarno, staf khusus Presiden bidang komunikasi Sukardi Rinakit, politisi senior PDI Perjuangan Heri Achmadi, Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira, tokoh agama dan tokoh masyarakat juga beberapa perwakilan ormas.
Dalam pidatonya, Puti Guntur Soekarno menyatakan bahwa arti kemerdekaan adalah seperti apa yang pernah disampaikan Bung Karno, yaitu untuk mampu berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Menurut Puti, hal terpenting dari refleksi kemerdekaan ini adalah kehadiran dengan hati bagi rakyat. Siapapun kita, presiden, pemimpin agama, kader partai, sampai ketua RT, harus bekerja untuk rakyat dengan hati. “Inilah keutamaan yang diajarkan Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa,” tegasnya. Sejarah revolusi Bangsa Indonesia mengajarkan agar kita hadir dan memegang amanat penderitaan rakyat tuntunannya sejarah. Kita bukan bangsa yang mudah ditundukkan oleh kesulitan dan tantangan apapun, dan sejarah telah membuktikan bagaimana bangsa Indonesia bisa mengatasi segala tantangan sejarah sebagai bagian dari zaman yang bergerak. “Kita harus mampu untuk terus bangkit, ditempa, bangkit, ditempa, dan bangkit lagi, sehingga kita menjadi bangsa yang kuat.”
Terhadap fakta masih adanya ganjalan atau kekurangan selama 70 haun ini, Puti menyemangati agar kita semua tidak mudah mengeluh, karena itu adalah tugas sejarah masa depan kita semua. Dengan semangat yang sama dengan semangat yang dulu menyala di Rengasdengklok ini, Indonesia akan terus ada. "Bukan hanya dalam hitungan sewindu, bukan pula dalam hitungan 70 tahun atau 100 tahun, namun untuk selama-lamanya,” tandas Puti. Sebuah harapan sekaligus ajakan untuk terlibat melalui peran apa saja yang bisa kita lakukan. “Ibu-ibu,” lanjutnya kepada kaum ibu yang hadir, “jangan ragu untuk terus mendongeng, menceritakan kisah-kisah sejarah pada anak-anak kita,” pesannya. Pesan akan pentingnya keterlibatan dalam menjawab tantangan sejarah itu juga disampaikan pada para ulama dan kaum muda yang hadir.
Acara yang berlangsung sederhana namun khidmad ini ditutup dengan pemotongan tujuh tumpeng yang melambangkan ungkapan syukur 70 tahun Indonesia merdeka. Sambil menikmati sajian tumpeng bersama, masyarakat disuguhi pemutaran film bertemakan Soekarno yang berjudul “Ketika Bung di Ende” besutan sutradara Viva Westi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H