Mohon tunggu...
Bekti Gojagie
Bekti Gojagie Mohon Tunggu... -

Pikiran sering lupa bahwa ada banyak ingatan dalam dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tugas Berat di Musim Akrobat

6 April 2015   14:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih sore tapi dalang sudah njejeg cempala dan kepraknya seolah segera mau memulai fase goro-goro. Sebagian penggamel dan sinden terkaget-kaget, maklum waktu belum lama berselang dari waktu makan malam, bahkan banyak piring belum dilorot, banyak yang masih ngelus-elus weteng, glegekan alias bersendawa, terkantuk-kantuk ataupun sibuk nyungkilin selelit dari gigi-gigi yang menua. Dari luar batas panggung, sebagian penonton merangsek ke depan agar bisa menyaksikan yang lucu-lucu berikut perang-perang dahsyatnya. Ada yang ikut teriak-teriak, ada yang menyeringai sambil klepas-klepus mipo cangklong.  Bakul-bakul kaget campur khawatir tontonan akan cepat paripurna dan ndak akan laku dagangan mereka. Sementara para tetua banyak yang saling berbisik dan sebagian lagi geleng-geleng kepala, mempertanyakan pakem mana gerangan yang dijadikan referensi oleh dalangnya.

Gareng, Petruk dan Bagong yang masih enak-enak tidur dalam tumpukan anak wayang, dicegemek pak dalang dan ditancepkan secara prematur di batangan pisang pagelaran. Selain bertugas untuk menghibur penonton, dalam kondisi yang tidak umum dan luar biasa seperti ini biasanya diberikan banyak tugas dadakan yang penting demi baiknya jalanan lakonan hingga paripurna.  Ketika banyak ksatria tidak lagi dalam suasana netral dalam bhakti negara-nya dan mulai berkongsi serta tlusap-tlusup ke sana kemari, punakawan menjadi orang-orang terakhir yang harus tetap netral dalam pengabdiannya pada nilai-nilai: ya nilai-nilai kebaikan bersama, nilai-nilai etika, nilai-nilai kerakyatan, kesederhanaan agar pakem bernegara tidak menjadi amburadul dan memporak-porandakan semuanya.

Ini bukan hanya bagi Gareng, Petruk, Bagong dan bapaknya, tetapi juga untuk Togog dan Mbilung juga. Jika yang diembani ternyata mletho ya harus dielingkan. Dan karena tugas seperti itu sangatlah tidak mudah, apalagi saat teriakan-teriakan kepentingan telah bergema di mana-mana menghembuskan semacam sirep yang bisa menyebabkan kesurupan massal. Dalam lakokan extraordinary seperti ini mereka ditugaskan untuk mencari dan mengumpulkan siapapun orang-orang yang masih dipandang masih cukup bening hatinya, wening pikirnya. Orang-orang yang tidak ikut ringan lambe melu bengak-bengok dan ocang-acung menyalahkan pihak-pihak, yang tidak ikut rebutan dan yang – baik saat di panggung maupun saat kencing sekalipun – ucapan-ucapannya tetap runtut dan tak bertolak belakang. Hanya dengan menemukan orang-orang seperti itu maka gelaran tatanan akan berbunga harapan untuk bisa kembali pada pakem adiluhungnya.

“Wah, ini kok situasu-nya nganeh-anehi, lebih rumit dari pakeliran yang biasanya,” kata Bagong yang sunduknya paling dalem tertanem di gedebok pisang. “Kalau pakeliran kan mak byak, cetho wela-wela walau karakternya juga beragam. Kalau sebelah sini grupnya Pendawa, sebelah sana Kurawa. Kalau sebelah sini Ayodya, di sana Alengka Diraja. Lha ini kok berlapis-lapis gini?”
Gareng manthuk-manthuk mengiyakan. Keadaan sekarang ini memang tidak jelas. Mencurigakan.  “Tapi semoga jangan sampai ini nanti jadi lakon semacam Brotoyuda. Ngeri itu... sungguh ngeri, wong ya kabeh konco, kabeh dulur,” respon Gareng sambil nyundul hidung Petruk yang tengah baca koran dan tak sadar hidung panjangnya yang dihiasi batu akik seturut trend  itu menusuk-nusuk mbun-mbunan Gareng. “Kamu itu lho, Truk. Ini dah jatahnya ngomong kok malah masih asyik mbaca koran,” semprot Gareng.
“Lha, pesan pentingnya kan kita ini disuruh nyari orang-orang aneh, orang-orang yang dianggap masih bening hatinya, wening pikirnya, yang tidak hanyut dalam kepentingan-kepentingan besar partisan. Yang masih punya dugo-ukur, bisa ngilo githokke dewe, bercermin pada diri sendiri sebelum bertindak. Tidak silau dengan derajat, pangkat dan kemat, tapi juga tidak tinggal glanggang colong playu, atau menghindar dari konsekwensi pilihan yang sudah dibuat tetap dalam koridur kenegaraan dan hukum yang jelas,” sahut petruk panjang lebar.
“Lah, memang sudah ada nemu lagi?” Bagong dan Gareng penasaran dan nyoba ngintip halaman koran yang sama Petruk sengaja dinaik-naikkan sehingga mereka berdua sampai jinjit-jinjit kakinya. Mereka antusias karena memang tidak mudah untuk menemukan sosok-sosok seperti itu. “Oooo, tentang penunjukkan komisaris-komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Nagari) itu to? ,” kata Gareng. “Terus apa yang menarik dari situ?”
“Ini loh...,” sahut Petruk sambil ngacungi gambar di sebuah artikel. “Orang ini ndak mau dijadiken komut di bank ini loh... edan to? Lha wong tinggal mak bledeng masuk, kok ndak gelem. Khawatir malah membebani katanya, pake ngaku lagi kalau perbankan itu bukan wilayah kompetensinya,” lanjut Petruk.
“Orang aneh... kok jebulnya ya memang masih ada juga ya orang kayak gini, ing atase kebanyakan pada semrinthil alias mak jranthal kalau ada tawaran  demikian, dan wong yang gak kejatah saja banyak yang ndusel-ndusel mau ikut rebutan kok,” imbuh Gareng. “Ya ini, orang-orang seperti ini yang harus kita data nama-namanya dan nanti disetor ke Ki Semar.”
“Lah, nanti dulu, tapi dia ini malah terus mau loh dijadikan stafsus di kementerian, yang tugasnya termasuk mbikin pidato-pidatonya kanjeng-e... ini gimana?” tanya Bagong.
“Lah kalau itu kan memang kerjaannya dia selama ini, jadi yo wis pas to,” sahut Petruk.
“Padahal, paling gajine mung sithik, dah gitu tetep saja beresiko dikritak-kritik... wis upahe ra sepiroo, tur resikone jadi sasaran tembak.. lha mbok mending tidur nglempus saja ndak usah ikut-ikut,” Bagong setengah menyayangkan.
“Itu kan kalau kamu, Gong.. mentang-mentang yang kamu pilih belum sesuai harapan lantas kamu mutung lalu tidur, apa malah terus nlusup bawah panggung nyogoki bokonge yogo dan sinden pake lidi biar sisan blero ndak laras gamelane,” sergah Petruk.
“Yang sudah ada, yang sudah mulai, ya mari kita dukung agar bisa berjalan dengan baik, yang menggunung-gunung kalau bisa dan perlu diratakan ya diratakan, yang bengkok-bengkok ya diluruskan, yang legok-legok diuruk biar kembali datar..  ndak kok malah terus ikut maculi jalan biar remek sisan. Wong ya kalau misalnya benar-benar diturunkan lalu diganti ya bisa jadi kondisinya sama saja alias sami mawon... gimana nanti kalo misalnya sampe terjadi mburu uceng kelangan ndeleg, gara-gara mengejar apa yang  belum jelas, suatu permulaan yang sudah ada di depan mata malah dilepaskan. Malah belum cetho lagi itu. Ndak usah ngege mongso.”
“Terus? Berarti nama ini dicatet ya?” tanya Gareng.
Petruk manthuk-manthuk dan Bagong pun lalu ikut menganggukkan kepala bulatnya.
“Sudah dapet berapa nama?”
“Baru sepuluhan nama... yuk kita cari lagi orang-orang aneh lainnya. Heh, benar-benar tugas berat di musim banyak pihak main akrobat.”
“Kalau yang nulis artikel ini?” tanya Bagong sambil ngeler wudelnya.
“Itu sih cuman orang gila. Catet nomer telponnya utk diingetkan jadwal minum obatnya!”

Nah, ada yang mau membantu para Punakawan itu untuk menambahkan nama-nama dalam daftar ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun