Mohon tunggu...
Bek Makruf
Bek Makruf Mohon Tunggu... -

Penulis merupakan pengamat multi disiplin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serial Keok 1: Parpol & Para Media Keok Semua sama Singapore

8 Mei 2014   23:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada ungkapan, yang dulu-dulu, sangat dipegang teguh Bangsa Indonesia: “ right or wrong is my country “. Sejalan dengan waktu, hakikat ungkapan ini sudah hilang. Siapa yang salah? Banyak pihak yang terlibat, tetapi salah satu penangggung jawabnya adalah Kemendiknas. Sebagai Kementrian dengan anggaran belanja terbesar, Kemendiknas bisa dikatakan alpa (bahasa intelek yang sopan) atau “enggak becus” istilah anak asli Tanah Abang.

Platform pendidikan di Indonesia sekarang ini, sudah salah kaprah. Roh kejuangan, roh kebangsaan, roh nasionalisme sudah hampir sirna. Sebagai anak bangsa yang beruntung karena mengenyam pendidikan dimasa-masa perjuangan, hati penulis sangat miris melihat kondisi saat ini.

Bicara tentang parpol, lebih menyedihkan! Mereka mencantumkan kata perjuangan, kata kebangsaan dan berbagai atribut nasionalis, tapi hanya sebatas nama bodong. Menjelang masa pilpres saat ini, sifat-sifat asli para elit parpol yang sangat haus kekuasaan muncul dengan jelas. Haus jabatan presiden, jabatan wapres, jabatan menteri, eselon satu sampai dirut BUMN.

Penulis pernah bertanya ke seorang petinggi parpol mengapa para elitnya sangat mendambakan jabatan menteri. Ironis betul mendengar jawaban lugu tanpa tedeng aling-aling; ” Jadi menteri tuh enak bang, semua beres diatur protokol, kemana-mana dikawal, istri senang semua urusan diskedul ajudan, dari salon, arisan dll ”. Memuakan sekali!

Lain lagi cerita media. Pemilik dan manajemen media televisi, cetak dan media sosial, memiliki “chemistry” yang “senafas”. Senafas dalam menghancurkan Bangsa Indonesia, dari sisi pendidikan intelektualisme, perilaku dan tata krama. Sang taipan pemilik media hanya fokus mencari duit sebanyak-banyaknya. Sedangkan manajemen, yang umumnya miskin nilai-nilai kebangsaan (plus intelektual yang pas-pasan), menghalalkan segala cara karena dikejar target. Saluran TV Swasta adalah contoh yang gamblang. Tiap hari rakyat dicekoki sinetron pembodohan, lawakan kampung, hiburan tanpa jiwa, infotainment dan talk-show yang mempertontonkan aib. Konten yang disajikan hanya menjual penampakan fisik tak bermoral. Semua ini, ujung-ujungnya, tak lain tak bukan, menjerumuskan pemirsa.

Jadi ya harap maklum, kalau perilaku bangsa kita semakin parah. Intensitas dan kuantitas pemerkosaan, penyimpangan seksual, selingkuh, korupsi, bunuh membunuh dari SD sampai pendidikan tinggi, hancurnya disiplin lalu lintas , menjamurnya cabe-cabean dan terong-terongan semakin meroket.

Sebagai penutup di serial satu ini, penulis ingin memberi contoh tentang gerakan Singapore yang melakukan “character assassination” terhadap Panglima TNI, melalui isu jam tangan.

Siapapun panglimanya, TNI adalah milik Bangsa Indonesia, yang menjadi garda terdepan pertahanan negara. Harkat sebuah negara, ditentukan oleh kapabilitas militer. Sebagai contoh, dikawasan “pacific rim”, Amerika Serikat adalah “the law”, dengan Armada Ketujuh-nya yang berpangkalan di Honolulu.

Beberapa saat lalu, panglima TNI Indonesia disodok oleh Singapore menggunakan “Channel News Asia” (saluran TV Singapore) sebagai “attacking vehicle”. Loh ada apa ini? Kalau sekedar iseng, ya kita tunggu saja, sehabis arloji, berikutnya adalah batu akik Panglima akan diutak-utik.

Singapore ini jelas-jelas tidak menginginkan Indonesia kuat, tetapi juga tidak menginginkan Indonesia hancur. Indonesia yang kuat atau Indonesia yang hancur akan menjadi momok bagi Singapore. Begitu Singapore melihat Indonesia akan kuat ya disodok. Sebaliknya, apabila ada indikasi Indonesia akan kacau ya nanti dibantu. Nah Jendral Moeldoko ini pasti dianggap memiliki peran strategis yang bisa mengancam Singapore. Bisa politik (Jendral Moeldoko dianggap berpotensi cawapres), bisa karena alutsista TNI yang semakin hebat atau sentiment KRI Usman-Harun atau sebab lain. Kenapa arloji Panglima TNI yang di ekspos, kenapa bukan jam tangan Panglima Militer Timor Timur, Papua Nugini atau Panglima Militer Filipina?

Lalu apa reaksi media-media Indonesia. Ini dia nih. Manajemen media-media di Indonesia mayoritasnya diawaki anak-anak muda dengan sifat kejuangan yang hampir nihil. Mendapat serangan Singapore, mereka bukan-nya membela kepentingan NKRI dengan melakukan “counter-attack” terhadap media Singapore, tetapi malahan mengubek-ubek Panglima TNI. Sebagai Bangsa Indonesia yang berdaulat, harusnya elemen-elemen masyarakat, harus tahu peran dan posisi mereka. Media harus dilawan oleh media. Faktanya, media-media di Indonesia, sadar atau tidak, malahan menghancurkan negara sendiri. Dan seperti biasa, media-media di Indonesia, kalau terpojok akan berlindung dibalik azas keterbukaan sebagai “simple exit”.

Untuk sementara kita lupakan sejenak Kemendiknas, yang sama JIS saja sudah Keok. Mari kita lihat parpol-parpol yang saat ini sedang non-stop melakukan politik dagang sapi, dari waktu Subuh ke Subuh lagi. Tak satupun parpol dan capres yang bersuara membela TNI. Padahal parpol-parpol ini mencantumkan kata-kata perjuangan, kebangsaan, nasionalisme dan seterusnya sebagai nama, emblem maupun platform. Seringkali kata kedaulatan digembar-gemborkan. Tetapi faktanya omdo alias “omong doang”. Dengan Singapore saja keok. Mungkin banyak yang terlena, Singapore hanya, sebuah negara kecil, yang cuma perlu satu jam naik mobil, dari ujung negara keujung lainnya. Bahlul…..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun