Tidak sampai di situ, akuntabilitas kinerja Pemdes untuk menjamin bahwa demokrasi berjalan dengan baik adalah bahwa UU Desa juga mengatur tentang kewajiban pemerintah desa untuk menyusun laporan penyelenggaraan pemerintahan desa. Laporan tertulis tersebut kemudian disampaikan kepada BPD serta disebarkan dan/atau diberikan kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Meskipun, sayangnya, UU Desa tidak memberikan ruang kepada masyarakat maupun kepada BPD untuk memberikan umpan balik atau feedback terhadap laporan tersebut.
Dengan demikian maka makna yang sesungguhnya tentang pertanggungjawaban masih belum muncul dalam ketentuan UU Desa. Hal ini berbeda dengan laporan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di hadapan DPRD yang seringkali diiringi dengan feedback, baik berupa evaluasi maupun penolakan. Dalam laporan sebagaimana diatur dalam UU Desa tidak mengkonstruksi mekanisme pertanggungjawaban semacam itu. Sehingga tidak ada konsekuensi apapun bagi kepala desa, termasuk konsekuensi diberhentikan jika laporannya ditolak.
Terlepas dari soal tidak adanya ruang umpan balik dalam pertanggungjawaban Pemdes, namun secara keseluruhan UU Desa telah menyediakan perangkat-perangkat yang cukup memadai bagi terselenggaranya proses demokrasi di desa. Campur tangan pemerintah dalam hal ini juga tidak terlalu kental. Meskipun ada peran yang dijalankan oleh pemerintah, namun hal itu masih sebatas pada persoalan administrasi pemerintahan, misalnya penetapan kepala desa maupun BPD yang telah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan substansi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa, sepenuhnya menjadi kewenangan entitas desa, apakah itu Pemdes, BPD, maupun masyarakat desa sendiri.
Jalan demokrasi desa telah dibuka. Harapannya, jalan yang telah terbuka tersebut tidak boleh ditutup oleh siapapun dengan alasan apapun.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H