Mohon tunggu...
Bejok Silalahi
Bejok Silalahi Mohon Tunggu... -

ktivis Anti Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambo Desa (Versi Lengkap)

4 Februari 2012   20:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pohon kapuk itu masih berdiri kokoh. Angin mungkin tak kuasa merobohkannya. Adalah kenangan yang mengajakku untuk menengok pohon kapuk itu. Letaknya persis di pojok kanan jalan masuk ke kampung. Daun dan rantingnya sudah banyak meranggas, namun pohon kapuk itu masih berdiri kuat. Kulangkahkan kaki kesana, berharap masih ada namaku terukir.

Kutelisik sisi belakang batang kapuk itu. Menerawang puluhan tahun silam. Saat itu, aku dan sembilan teman bergiliran menggunakan sebilah pisau memahat nama kami di pohon kapuk ini. Nama itu sudah hilang, seiring tumbuh dan berkembangnya pohon kapuk. Harusnya dari awal kami sadari, pohon ini akan terus tumbuh. Jadi, sia-sia saja mengukir nama di pohon ini. Tapi, itulah masa kecil dulu. Aku masih enggan masuk kampung. Sejenak bersandar dulu di pohon kapuk. Aku merindukannya, sama saat aku merindukan kampung ini.

Matahari sudah meninggi. Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan kampung. Dua hari lalu, aku dapat kabar melalu pesan singkat di telepon selularku. Saat membaca sms itu, aku kaget. “Guru kita, pak Ambo wafat. Harap di sampaikan kepada Tujuh orang teman kita”. Ternyata pengirim sms ini adalah Razak, teman aku dikampung. “Aku harus berangkat ke kampung, Aku merindukan semua yang ada di sana,” gumamku dalam hati.

Aku tertegun menatap rumah Razak. Dindingnya dari anyaman kayu. Orang dikampung menyebutnya Gamacca. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Didepan rumahnya ada bale-bale bambu. Meski sederhana, namun rumah Razak menebar aroma bunga yang tumbuh subur halaman rumahnya. Pintu berderit, usai kuucap salam kepada pemilik rumah.

"Ancu ?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.

"Baru datang? Wah, Minderka kurasa. Tambah gemukki kuliat sobat. Itu artinya kamu sudah jadi orang. Ah, sampai lupa. Ayo masuk." Kata Razak dengan runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Razak memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi Borong.

Wajah Razak yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos hitam lusuh dan celana abu-abu tiga perempat. Tubuhnya tambah kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Tidak seperti aku, tubuh tetap kurus kerempeng, kendati kata Razak, aku sudah jadi orang.

Dari semua nama yang terpahat di batang kapuk, cuma Razak yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Razak hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, panen dua bulan lalu cukup lumayan, meski terkadang harus berperang dengan hama. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan mujair untuk menambah penghasilan.

Di kampung ini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Setelah kedua orang tua berpulang, aku dan dua saudaraku sepakat menjual sawah yang ukurannya lumayan luas. Begitu pula rumah yang kami tinggali, terpaksa harus di lego. Hasil penjualan sawah dan rumah kami bagi, untuk di gunakan sebagai bekal merantau.

Bagaimana menjelaskan pada Razak? Aku cuma marketing di salah satu developer. Gaji tiap bulan hanya cukup menghidupi istri dan tiga anakku yang masih kecil. Saat inipun hanya tinggal dirumah kontrakan ukuran 3x4. Lingkungan tempat tinggal saya kumuh, banyak kaum urban mendirikan rumah tak berizin. Bahkan, mungkin saja rumah kontrakan saya juga tak berizin. Rasa khawatir kerap melanda. Ancaman penggusuran oleh satuan polisi pamong praja, senantiasa mengintai. Tragis, bila memimpikan itu terjadi.

Razak tertegun dan seolah tak percaya mendengar ceritaku. Dia pun menyela,”Itulah enaknya tinggal dikampung mengurus sawah, punya rumah sendiri dan perasaan tetap tenang tanpa takut digusur,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun