Mohon tunggu...
Bejok Silalahi
Bejok Silalahi Mohon Tunggu... -

ktivis Anti Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Guru Sarmila

4 Februari 2012   20:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Sarmila. Saya tidak mengenal pribadinya, bahkan bertatapan langsung pun tidak pernah. Namun menurut cerita sebagian warga di pulau Kambuno kecamatan pulau Sembilan Sinjai, Sarmila adalah sosok perempuan pantang menyerah. Sarmila berprofesi sebagai guru di SD negeri 126 Kambuno. Status PNS baru direngkuhnya tahun 2010. Tempatnya mengajar sekarang adalah kampung halamannya ; pulau Kambuno. Pulau yang berjarak 13 mil laut dari ibukota kabupaten Sinjai. Saat ditempatkan mengajar di Kambuno, Sarmila berpikir bahwa tantangan sebenar-benarnya profesi guru akan diuji di pulau kelahirannya. *** Sejatinya, Acong saat ini sudah duduk di kelas 1 SMP. Karena sulit merubah kebiasaanya bolos sekolah, Acong harus tinggal kelas selama dua kali. Orang tuanya juga sudah kehabisan akal menegur anaknya agar tidak sering bolos. Namun Acong tetaplah Acong. Bolos sekolah bersama dua rekannya yang lain tetap saja dilakukan. " Acong, belajarnya sungguh-sungguh supaya kamu bisa jadi guru !, cukuplah ayah yang menjadi nelayan," tegur ayah Acong lembut saat mendapati anaknya yang masih berseragam putih merah, tengah memancing ikan dibibir pantai Kambuno. Jarum jam menunjukkan pukul Sebelas siang. Masih jam pelajaran sekolah. Namun Acong serta dua teman kelasnya Jumadi dan Kasim sontak berteriak kegirangan di bibir pantai Kambuno.  Hasil memancing Acong serta dua rekannya, Jumadi dan Kasim ternyata lumayan banyak. Ada ikan cepa-cepa, ikan kuwe bahkan ikan kakap berhasil didapatnya. Jumlahnya 15 ekor. Bila di rupiahkan, Acong dan teman-temannya bisa meraup untung hingga 150 ribu. " Ibu pasti senang saya bawakan uang hasil dari menjual ikan ini," pikir Acong. Ikan hasil tangkapan "tiga sekawan" ini kemudian dibawahnya ke salah satu penadah ikan tak jauh dari SD 126 Kambuno. Saat ditimbang beratnya, ikan Acong dan ketiga rekannya ternyata hanya di hargai 90 ribu rupiah. Kendati demikian, rasa senang dan senyum bangga tetap menghiasi bibir ketiga bocah ini. Uang 90 ribu inipun kemudian dibagi tiga. Masing-masing mendapatkan 30 ribu rupiah." Lumayan untuk hari ini, " ucap Jumadi singkat. “Emma'..... !, saya dapat 30 ribu hari ini”. Teriakan Acong di ujung tangga membuat kaget ibunya yang sementara menyapu teras rumah yang hanya terbuat dari pilah-pilah bambu." Emma', 30 ribu kudapat hari ini, lumayan untuk ditabung Emma' !" kata Acong sambil menyerahkan lembaran uang kertas yang dipegangnya kepada Ibunya. Sang ibu menerima pemberian uang hasil keringat anaknya dari memancing ikan. Ibu Acong tak sanggup menolak pemberian anaknya yang diperolehnya secara halal. Pun tak sanggup menegur anaknya meski uang tersebut diperoleh saat anaknya mengorbankan satu, dua jam mata pelajaran di sekolahnya. Penghasilan sang suami yang hanya seorang nelayan kecil, memang tak sanggup memenuhi kebutuhan Acong sekeluarga. Keinginan besar sang ayah menjadikan Acong seorang guru seakan jauh dari panggang api. Penghasilannya hanya cukup untuk makan sekeluarga. Air mata menetes dari pelupuk mata sang ibu. Acong perlahan datang mendekat dan mengusap air mata ibunya dengan seragam sekolah yang masih melekat dibadannya. “ Tabe' emma' !, maafkan Acong kalau sering bolos sekolah. Acong hanya ingin membantu ayah mencari nafkah,” Ucapnya sambil sesekali mengusap air mata sang ibu. Sejurus kemudian Acong tertidur dipangkuan ibunya yang masih terus meneteskan air mata. Sesekali tatapan mata Ibu Acong menatap langit-langit rumahnya. Mungkin berharap suatu ketika anaknya bisa menjadi seorang guru. *** Entah sudah kali keberapa saya ke pulau Sembilan. Kali ini bersama sepuluh orang teman saya. Adrenalin yang terus berpacu saat ombak mempermainkan perahu yang kami tumpangi, perlahan mereda.“Nirwana” yang kami tumpangi akhirnya bersandar di dermaga pulau Kambuno. Seperti biasa, belasan anak-anak kecil sambil mendorong gerobak, menawarkan jasa angkut barang kepada penumpang. Namun kami memilih menggunakan jasa orang yang lebih dewasa. Tak kuasa rasanya melihat anak-anak kecil ini mendorong barang bawaan kami. Tidak ada tarif khusus yang dikenakan para pendorong gerobak di pulau ini . “ Terserah kita berapa mau dikasi pak, !” kata seorang bapak yang kebetulan kami manfaatkan jasanya. Sesaat setelah tiba, tidak kami gunakan untuk merebahkan tubuh. Kami memilih mengitari pulau nan eksotis ini. Setelah itu saya juga berencana mencari rumah ibu guru Sarmila, guru yang menurut cerita orang adalah sosok guru yang tangguh dan pantang menyerah. Sarmila selalu mendorong anak-anak di pulau Kambuno untuk giat belajar. Kebiasaan buruk sebagian anak-anak pulau yang sering bolos sekolah hanya untuk membantu ayahnya melaut, berusaha di terobos Sarmila. Menjadi guru dianggap profesi yang bisa mengubah pola pikir anak-anak dikampungnya. Setiap sebelum memulai jam mengajar, sudah menjadi kebiasaan rutin Sarmila mengingatkan siswa di kelas binaannya ; siswa kelas Tiga. Rajin belajar dan jangan bolos !. Itulah dua kalimat yang selalu diucapkannya. Belum puas menikmati pesona Kambuno, tiba-tiba tiupan angin yang sebelumnya sangat kencang berubah menjadi hujan. Awan dilangit Kambuno pun hitam pekat. “ Ini tidak lazim. Adakah ini sebuah pertanda buruk ?,” Pikirku. Namun belum sempat terjawab olehku, tiba-tiba tersiar kabar meninggalnya seorang guru SD negeri 126 Kambuno. Saya berusaha mencari tahu kebenaran kabar ini. Akhirnya seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan perumahan SD yang kami tempati nginap, menjawab rasa penasaran saya. “ Namanya bu Sarmila pak, guru SD negeri 126. Dia meninggal karena terjatuh dari motor pak !,” Kata si Ibu, lalu berlalu meninggalkan saya yang seolah masih tidak percaya. Ingin menjawab rasa ingin tahu, saya mencoba menerobos hujan mencari rumah ibu Sarmila. Rumah ibu Sarmila ternyata hanya berjarak 100 meter dari tempat nginap kami. Namun sesampai disana, isak tangis menyeruak di seisi rumah. “ Bu guru Sarmila sudah tiada. Kenapa begitu cepat dipanggil ?,” ucap beberapa anak kecil berseragam SD. Mereka mungkin siswa bu Sarmila. Siswa yang masih berharap wejangan guru Sarmila. Namun yang kuasa berkehendak lain. Sarmila lebih cepat dipanggil kehadapNYA. Dengan langkah lesu, saya kembali ke perumahan SD tempat saya dan teman-teman menginap. Pupus sudah harapan saya bertemu bu Sarmila. Padahal saya ingin membuktikan cerita orang, tentang betapa teguhnya pendirian bu Sarmila yang sangat ingin merubah pola pikir anak-anak di kampungnya. Semoga kelak, Acong yang hanya anak nelayan bisa menjadi guru dan meneruskan niat tulus bu guru Sarmila. Semoga Acong bisa menghilangkan kebiasaan buruknya bolos sekolah dan memenuhi mimpi-mimpi sang ayah menjadi “umar bakri” di pulau Sembilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun