Anda mempercayai bahwa memberi seseorang kail, jauh lebih mendidik dibandingkan dengan memberinya ikan. Makanya, ada ungkapan ini;”Berikan kail, bukan ikan!” Itu jika anda berada dalam posisi sebagai ’sang pemberi’. Seandainya anda diposisi ’yang diberi’; anda pilih ikan atau kailnya? Saya yakin bahwa keputusan anda akan bias. Entah karena anda merasa gengsi kalau memilih ikan. Atau, mungkin anda memang tukang mancing ikan. Karena itu, saya tidak meminta anda untuk memilih diantara ikan atau kail. Saya justru ingin anda memilih; diantara sepotong roti dan sepercik api. Mana yang akan anda pilih; roti atau api?
Saya tidak akan mencampuri keputusan anda. Namun, sebelum saya membahas lebih lanjut, tentukan pilihan anda; roti atau api? Itu penting bagi anda, karena dalam sejarah umat manusia; ada seorang pribadi besar yang kisah hidupnya sangat berkaitan dengan keputusannya untuk memilih diantara roti dan api. Anda ingat siapa orang itu? Ya, dia adalah Nabi Musa sang kekasih Tuhan. Dijaman ketika dia dilahirkan, ahli nujum meramalkan bahwa Firaun akan dikalahkan oleh bayi laki-laki yang dilahirkan pada suatu rentang waktu khusus. Oleh karena itu, Firaun memerintahkan untuk membunuh semua bayi lelaki yang dilahirkan pada masa itu. Sedangkan istri Firaun, menyembunyikan seorang bayi lelaki yang sangat menarik hatinya.
Apa yang terjadi ketika Fiarun menemukan bayi lelaki itu? Dia memerintahkan untuk membunuhnya. Sang ratu tentu keberatan. Sehingga, akhirnya mereka bersepakat untuk melakukan ujian. Anda tahu ujiannya seperti apa? Dihadapan sang bayi disediakan dua pilihan; roti dan api. Jika bayi itu memilih api, maka dia akan diijinkan untuk hidup. Tetapi, jika dia memilih roti, maka dia harus mati! Nah, sekarang perhatikan kembali pilihan anda tadi….
Sebenarnya, ada apa diantara roti dan api? Begini. Roti, adalah produk dari serangkaian proses yang panjang. Untuk mendapatkan sepotong roti anda harus melibatkan sekurang-kurangnya seribu orang yang tak kelihatan. Seribu orang? Ya. Ada petani yang menanam gandum. Buruh yang menyiangi rumput. Kuli angkut. Sopir truk. Penjual bensin. Pembuat oven. Pedagang loyang. Pertenak telur ayam. Karyawan pabrik gula. Mereka adalah bagian dari ribuan orang tak terlihat untuk membantu anda mendapatkan sepotong roti.
Pertanda apa ini? Ini adalah pertanda bahwa untuk sepotong roti yang anda makan; anda berhutang budi kepada ribuan orang. Tetapi, mengapa Tuhan memberi pertanda melalui roti dan api? Roti, tiada lain adalah isyarat kenikmatan. Sehingga, Musa yang masih bayi itu mengajarkan kepada kita sebuah moral bahwa semua kenikmatan dan pencapaian hidup yang kita dapatkan – tidak ada yang terlepas dari kontribusi orang lain. Bayi Musa mengajarkan; jangan lupakan fakta itu!
Roti juga adalah simbol dari kekayaan. Coba anda perhatikan; adakah satu sen saja dari harta yang anda miliki itu diperoleh tanpa peran orang lain? Pasti tidak ada. Harta anda, semuanya didapatkan atas jasa dan bantuan serta kontribusi orang lain. Oleh karena itu, orang kaya yang sombong tak ubahnya seperti manusia pandir yang tidak menuruti ajaran Sang Nabi.
Roti adalah jabatan. Perhatikan jabatan yang anda sandang itu. Bisakah anda mendapatkan jabatan itu tanpa dukungan dan bantuan serta kontribusi orang lain? Jika kita pejabat publik, kita mendapatkannya karena ribuan bahkan jutaan orang mempercayakan pilihannya kepada kita dibilik suara. Jadi, para pejabat publik yang mengabaikan rakyatnya tidak ubahnya seperti manusia durhaka yang lupa bahwa jabatannya adalah titipan dari orang-orang yang dipimpinnya. Dia lupa kalau Sang Nabi mengajarkan bahwa roti itu dibuat oleh ribuan bahkan jutaan orang tak terlihat.
Roti adalah jabatan. Jika anda pejabat perusahaan. Supervisor, Manager, Direktur, atau CEO sekalipun. Bisakah anda mendapatkan jabatan itu tanpa orang lain? Tunjukkan kepada saya satu orang saja manusia dimuka bumi ini yang memiliki jabatan tinggi dengan hasil yang diusahakannya sendiri; jika itu ada. Jadi, jika seorang pejabat perusahaan besar kepala, sok kuasa, dan memperlakukan anak buahnya semena-mena; maka dia tak ubahnya seperti manusia yang lupa diri. Padahal, sang Nabi bilang; roti yang kamu nikmati itu, adalah hasil jerih payah orang lain.
Sedang api, adalah salah satu unsur murni di alam. Artinya, alam menyediakan api tanpa campur tangan manusia sekalipun. Jika anda malih rupa menjadi belatung, lalu anda masuk kedalam bumi sedalam-dalamnya, maka anda akan bertemu dengan sumber api. Jika anda memilih menjadi seekor capung, lantas terbang menuju matahari; maka anda juga akan menemukan api.
Mengapa Sang Nabi yang masih bayi itu memilih api? Ternyata, itu merupakan makna simbolik penuh arti. Seolah melalui Sang Nabi, Tuhan hendak menyampaikan sebuah wahyu. Seperti yang dirangkum didalam dua aspek berikut ini:
Pertama, menghindari roti. Keluarlah dari perebutan atas sepotong roti. Perhatikan, dijaman ini; orang-orang sibuk berebut sepotong roti. Berlomba rebutan kekayaan. Berkompetisi meraih simpati untuk mendapatkan kekuasaan. Sikut-sikutan untuk memperoleh kursi dan jabatan di perusahaan. Sikut kiri. Tonjok kanan. Injak bawah, tendang depan, kentut belakang. ”Keluarlah dari sana!” kata Sang Nabi. ”Dan merdekakan dirimu dari jeratan pesona sepotong roti”.