Saya pernah menjadi pendengar setia radio.Â
Jika mendengar kata radio, Â langsung teringat beberapa lagu yang menggunakan kata ini. Misalnya, lagu The Corrs yang dirilis tahun 1999 berjudulkan "Listen to the Radio". Kemudian, lagu Almarhum Gombloh "Kugadaikan Cintaku" pun menggunakan kata radio pada baris pertama lirik lagunya. Â Ada pula Base Jam dan Sheila on 7 yang menulis lirik lagu dengan judul "Radio". Beberapa lagu itu menjadi bukti bahwa radio memang menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan, paling tidak kehidupan saya.Â
Bagi generasi yang sezaman dengan saya, radio adalah bagian dari keseharian. Selain pesawat televisi, radio ini menjadi barang yang wajib ada di rumah. Rata-rata setiap rumah memiliki pesawat radio-tape atau minimal radio transistor yang harganya relatif terjangkau. Warung-warung tempat para bapak menongkrong melepas lelah atau sekadar duduk santai dilengkapi dengan suara radio yang memutar tembang atau sandiwara radio yang sangat dekat dengan kesenian yang lebih merakyat. Â
Itu cerita umum, ini cerita saya.Â
Ketika masih usia SD, setiap hari Minggu pagi saya menantikan sebuah acara cerita anak bersama seorang penyiar bersama Kak Buyung dari sebuah stasiun radio swasta. Sampai saat ini saya masih teringat khas-nya suara beliau. Koleksi cerita anak yang beragam menjadi sesuatu yang membuncahkan rasa penasaran, apa lagi yang pekan ini akan diceritakan. Menggugah, mengesankan.
Ketika SMP dan SMA, saya mulai berpindah minat ke beberapa stasiun radio yang lebih meremaja. Penyiarnya makin beragam, setiap stasiun radio memiliki gaya siar yang unik. Yang paling saya tunggu adalah lagu-lagu top 10 atau bahkan top 40. Setiap pekan selalu ada pemutakhiran informasi, lagu apakah yang menduduki peringkat pertama yang paling populer di telinga pendengarnya. Bagian ini mungkin tidak menggugah, tapi ia memiliki sense of gereget yang dahsyat.Â
Setelah lebih dewasa, ada sebuah radio yang segmen pendengarnya senasib dengan saya yang sepertinya terjebak di tahun 90-an. Radio inilah yang setia dengan hari-hari saya sejak pagi hingga sore tiba, menemani hingga tuntasnya tugas dan pekerjaan. Rasanya, paling lambat di tahun 2010, saya masih mendengarkan radio ini dari telepon genggam saya dengan menggunakan alat bantu earphone sebagai penangkap sinyal. Tentu, masih setia dengan lagu 90-an dengan diselingi berbagai informasi mutakhir tentang dunia profesional.
Saya tidak tahu persisnya kapan, radio tidak lagi sering menemani saya. Saya masih suka mendengarkan lagu 90-an. Tapi, saya mendengarkan lagu itu dengan cara lain. Saya mulai menyimpan play list lagu dengan aplikasi winamp. Kita semua tahu, aplikasi ini layaknya sebuah kaset atau CD yang bisa diputar kapan pun. Tentu, rasa radio pasti berbeda. Radio memiliki terlalu banyak keunikan yang tidak terwakilkan dengan aplikasi song player mana pun.Â
Ada sensasi yang hilang tanpa radio. Rasa penasaran tidak lagi menggugah dan mengesankan. Rasa terkejut-kejut dan gereget itu tidak memiliki kedahsyatan. Rasa-rasa ajaib itu tidak lagi menjadi bagian penting ketika saya sekadar memutar playlist lagu. Toh telinga saya sudah diberi tahu oleh otak saya yang memerintah tangan saya bergerak untuk memilih play list itu. Bahkan, terkadang saya sudah tidak memilih lagi playlist lain karena saya anggap yang sudah sempat dipilih adalah lagu yang paling saya sukai. Â
Katakan saja saat ini saya masih berhubungan baik dengan radio. Pekan lalu, saya dan seorang teman menjadi narasumber di radio pemerintah. Studionya banyak, tampilan studio begitu menarik, sangat berbeda dengan kunjungan terakhir saya pada kurang lebih 15 tahun silam.Â
Tapi, saya ragu. Apakah masih ada pendengar yang setia?