Mohon tunggu...
Beina Prafantya
Beina Prafantya Mohon Tunggu... Guru - Editor, Penggiat Pendidikan, Istri, Ibu Satu Anak

Saya mencintai dunia pendidikan dan pengembangannya, tertarik dengan dunia literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai: Hasil atau Proses?

21 November 2020   09:01 Diperbarui: 21 November 2020   09:14 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(Sebuah Tanggapan atas Salah Satu Tulisan Jakob Sumarjo)

Suatu pagi, saya berbincang dengan Bapak saya yang keren. Kali itu Bapak mengabari saya sebuah tulisan menarik yang ditulis Jakob Sumarjo. Tulisan pendek, tapi sarat maksud dan benar-benar membuat Bapak dan saya sama-sama mengerutkan kening membuat kerutan di kening Bapak dan saya semakin jelas.

Dalam tulisan itu Sumarjo membahas bahwa kini orang semakin cenderung memandang nilai (baca: angka atau huruf mutu) sebagai sebuah parameter keberhasilan pendidikan (formal). Semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin berhasillah seseorang, semakin berhasil pula pendidikan.

Saya jadi teringat akan sebuah peristiwa. Seorang ibu yang anaknya adalah siswa saya menyampaikan keluhannya bahwa apa yang dikorbankannya untuk sekolah --biaya pendidikan yang cukup tinggi-- tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan pihak sekolah. Beliau protes karena perilaku dan prestasi anaknya tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkannya: santun, berbudi, dan mendapatkan nilai tinggi. Yah, dalam hal ini pihak sekolah memang menggunakan prinsip buying dan selling dan prinsip itu tampaknya belum terpenuhi.

Lain waktu, ibu yang sama sangat penasaran dengan nilai rata-rata kelas. Katanya, beliau ingin tahu seperti apa kemampuan anaknya ... apakah setara dengan teman-temannya atau tidak. Ah, mengapa harus dibandingkan? Tulisan Sumarjo memang benar, sang Ibu ternyata memiliki orientasi bahwa prestasi anaknya diukur dari seberapa tinggi nilai yang didapatkannya. Mengapa harus nilai tinggi yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan?

Sebagai ilustrasi lain, saya ingin menceritakan para siswa saya yang berharap saya memberikan nilai tinggi. Saya disebut sebagai seorang guru yang "pelit" nilai. Saya berkata, "Biar aja, gak masalah!" Mereka hanya bisa manyun mendengar tanggapan saya. Saya kemudian bertanya kepada mereka makna nilai 80 (dalam skala 100) untuk mereka. Jawaban mereka beragam. Namun, secara umum bisa ditarik simpulan bahwa nilai 80 adalah nilai tinggi (baca: sebuah kebanggaan). Itu benar, sama sekali tidak ada yang salah. Lalu, saya bertanya lagi tentang apa yang bisa mereka pertanggungjawabkan dari nilai 80. Mereka terdiam mendengar pertanyaan saya. Mungkin saya terlalu berlebihan. Namun, di lain sisi setidaknya hal itu membuat para siswa berpikir. Saya yakin kelak mereka akan bisa bertanggung jawab dengan nilai mereka.

Nilai bukanlah sekadar angka atau huruf. Ia adalah sebuah apresiasi terhadap sebuah usaha.

Seberapa besar kemampuan seseorang dalam menguasai sesuatu setelah melakukan suatu upaya. Kenyataannya, sebagian orang cenderung kurang menghargai proses. Ketika apa yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diinginkan, sebagian orang tersebut malah menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan sistem. Tidakkah bisa dirunut kembali apa yang telah dilakukan sebelumnya dalam proses mendapatkan nilai tersebut? Tentu yang saya maksud adalah proses yang jujur. Saya yakin, ketika sebuah proses sungguh-sungguh dilakukan, hasilnya pasti tidak mengecewakan.

Memang semuanya kait-mengait. Kita tidak bisa memandang satu sisi saja. Banyak aspek lain yang berpengaruh: guru, sistem pendidikan, fasilitas, keluarga, lingkungan.

Kali lain saya berbincang dengan dua kakak saya. Lagi-lagi masalah nilai. Sadar ataupun tidak, mereka pun mulai membandingkan nilai anak-anak mereka. Saya tertegun. Ternyata fenomena itu juga melanda keluarga saya. Salah satu kakak saya mengeluhkan betapa sulitnya pelajaran bagi anak yang ketika itu duduk di kelas 2 SD. Beliau senewen karena anaknya belum mampu mengikuti pelajaran sulit tersebut. Lalu, saya bertanya tentang hasil tes psikologi anaknya. Katanya, hasil tes psikologinya bagus, tidak ada masalah. Saya tertawa. Nah, kalau begitu, yang salah apanya?

Selidik punya selidik, akhirnya terkuaklah bahwa anaknya alias keponakan saya merasa tidak percaya diri dengan nilainya yang kurang baik. Gurunya mengancam, jika nilainya buruk, dia akan tinggal kelas. Wah, betapa mengerikan! Betapa ancaman itu akan menjadi sosok horor yang akan menghantuinya: hina jika tinggal kelas. Namun, keponakan saya tidak berdaya. Orang tuanya yakni kakak saya hanya bisa mencak-mencak, apalagi ketika tahu bahwa teman-teman anaknya bernilai bagus karena kesaktian sebuah amplop. Ah ... ternyata (oknum) guru pun memberikan sumbangan yang sangat berarti atas kecenderungan ini ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun