[caption id="attachment_348325" align="aligncenter" width="974" caption="ilustrasi (http://graphicnovel.umwblogs.org)"][/caption]
Pada tahun 1760 Belanda mengakui hak Sultan Tidore atas wilayah Papua. Selanjutnya pengakuan tersebut diulangi lagi pada tahun 1779. Begitu pula Pemerintahan Inggris dibawah Sir Thomas Stamford Raffles dalam: The Convension of 1814, memperkuat pengakuan hak Sultan Tidore tersebut. Pada tahun 1824 wilayah Papua dimasukkan sebagai bagian Karesidenan Ternate, dan dalam tahun 1861 dengan resmi atas persetujuan Sultan Tidore, wilayah Papua dimasukkan sebagai salah satu wilayah jajahan Belanda: Nederlands Indie. Dalam tahun 1948 nama Nederlands Indie oleh Belanda dalam Undang-undang Dasarnya, diubah menjadi Indonesia. Begitu pula dalam laporan tahunan Belanda pada tahun 1948 dan 1949 kepada PBB tentang Indonesia, Belanda dengan resmi di muka dunia (PBB) menyebut Papua sebagai bagian dari Indonesia (Pemda, 1972).
Awal mula sengketa Papua antara rakyat Indonesia dengan Pemerintah Belanda adalah dari diingkarinya fakta-fakta sejarah yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda. Pengingkaran Pemerintah Belanda atas fakta-fakta sejarah ini nampak di dalam perundingan Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Meskipun pasal 1 ayat 1 Piagam Penyerahan Kedaulatan pada tanggal 2 Nopember 1949 berbunyi: “Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat”.
Namun Pemerintah Belanda masih menyisipkan dalam pasal 2 ayat (f) kalimat sebagai berikut: “Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan azas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak akan timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Karesidenan Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan kenegaraan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”. Perutusan Indonesia bersedia menerima clausule tersebut atas dasar kepercayaan akan itikad yang baik dan kejujuran sama-sama bangsa yang Merdeka (Soemowardojo, 1969).
Namun, rencana Pemerintah Belanda untuk tetap berkuasa di irian Barat makin jelas dengan memasukkan Irian Barat sebagai wilayah Kerajaannya dalam Undang-Undang Dasar mereka, tanggal 19 Pebruari 1952. Atas reaksi dan desakan Pemerintah Republik Indonesia untuk membuka perundingan kembali, maka pada tanggal 24 Juli 1953 Menteri Luar Negeri Belanda menjawab, bahwa sebelum dapat diadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Belanda akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Australia. Akhirnya pada tanggal 14 April 1954 Pemerintah Belanda menyatakan terang-terangan tidak mau berunding lagi.
Karena ternyata perjuangannya tidak berhasil, maka Pemerintah Republik Indonesia menempuh jalan perjuangan melalui forum PBB. Permintaan perutusan Pemerintah RI kepada Sekjen PBB untuk memasukkan masalah Irian Barat sebagai salah satu acara dalam Sidang Umum tahun 1954, meskipun sudah diterima oleh Dewan Politik, akhirnya gagal, karena tidak memenuhi quorum 2/3 jumlah suara. Dalam tahun 1955 usaha ini diulang dan berhasil pada tanggal 15 Desember 1955 diputuskan sebuah resolusi Sidang Umum PBB sebagai berikut:
Setelah meninjau acara yang berkepala “Irian Barat”.
Mengharapkan bahwa soal itu akan diselesaikan secara damai.
Memperhatikan pernyataan bersama dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Nederland pada tanggal 7 Desember 1955, menyatakan harapan, bahwa perundingan yang dimaksud di dalam pernyataan bersama tersebut diatas akan dapat berhasil.
Di samping usaha melalui PBB diintensifkan diadakan pula usaha-usaha pendekatan secara langsung terutama dengan negara-negara Asia-Afrika. Di dalam Konferensi Kolombo, tanggal 2 Mei 1954 di Kandy telah tercetus suatu pernyataan bersama mengenai kolonialisme, antara lain dalam pasal 5 terdapat kalimat: ”Para Perdana Menteri membicarakan soal kolonialisme, yang mereka sesalkan masih ada di berbagai-bagai bagian dunia. Mereka berpendapat, bahwa terus adanya keadaan seperti itu merupakan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia dan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia”.
Kemudian Konferensi Panca Negara: Birma, Sailan (Srilanka), India, Pakistan dan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1954 di Bogor dalam komunike bersamanya tentang Irian Barat sudah lebih maju. Para Perdana Menteri kelima Negara dalam memperhatikan masalah Irian Barat menyokong pendirian Indonesia dan mengharapkan sungguh Pemerintah Nederland akan segera membuka kembali perundingan dengan Republik Indonesia guna melaksanakan kewajibannya berdasarkan persetujuan-persetujuan yang dengan hikmat telah diadakan oleh mereka dengan Indonesia. Akhirnya maka dalam Konferensi Bandung atau Konferensi negara-negara Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 18 sampai 24 April 1955 dan diikuti oleh 29 negara, benar dan adilnya tuntutan Rakyat Indonesia diakui, dan ke-29 Negara Asia-Afrika tersebut bersepakat membantu / menyokong pendirian Indonesia tentang Irian Barat.
Di lain pihak Pemerintah Belanda saat itu memperkuat diri. Pasukan-pasukan baru didatangkan lewat kutub utara karena RPA, Pakistan dan negara-negara Asia lainnya melarang pendaratan pesawat-pesawat Belanda yang mengangkut pasukan atau alat-alat perlengkapan perang. Keadaan makin tegang. Patroli-patroli oleh kedua belah pihak dilancarkan di daerah-daerah perbatasan perairan, yang kadang-kadang mengakibatkan terjadinya clash fisik. Pada tanggal 15 Januari 1962 pertempuran terjadi di laut Arafuru, yang mengakibatkan gugurnya Komodor Laut (Laksamana Muda Anumerta) Jos Soedarso. Peristiwa ini merupakan peristiwa nasional yang kita kenal dengan nama “Peristiwa Aru”. Kemarahan Rakyat Indonesia memuncak. Seluruh potensi Angkatan Bersenjata dan ribuan sukarelawan/sukarelawati disiapkan. Keadaan benar-benar mulai gawat, Bahaya perang terbuka sudah hampir tidak terelakkan. Negara-negara besar mulai menaruh perhatian. Amerika serikat mengirimkan pesawat-pesawat pengintainya.
New York Agreement
Dalam keadaan kritis ini muncullah seorang diplomat Amerika, Duta Besar di India pada waktu itu, Elsworth Bunker dengan “Bunker Proposals”. Pemerintah RI bersedia menerima usul-usul tersebut sebagai dasar penyelesaian pertikaian, dengan perkataan lain sebagai landasan penyerahan Kedaulatan atas wilayah Irian Barat dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia. Sebuah ultimatum Pemerintah RI kepada Pemerintah Belanda memaksa Belanda menerima perundingan atas dasar “Bunker Proposals” tersebut. Perundingan tersebut menghasilkan sebuah persetujuan “Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Nederland Mengenai Irian Barat”. Persetujuan ini ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York dan dicatat (taken note) oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusinya tanggal 21 September 1962 No. 1752 (XVII). Inilah yang biasa kita kenal dengan nama “Persetujuan New York” atau “New York Agreement” (Pemda, 1972). Persetujuan tersebut terdiri atas 29 pasal dan mengatur 13 macam hal :
Pasal I tentang Pengesahan Persetujuan dan Resolusi Majelis Umum PBB.
Pasal II tentang Penyerahan Pemerintahan.
Pasal III s/d VIII tentang Pemerintahan PBB
Pasal IX s/d XI tentang Taraf Pertama Pemerintahan PBB
Pasal XII s/d XIII tentang Taraf Kedua Pemerintahan PBB
Pasal XIV s/d/ XXI tentang Pemerintahan Indonesia dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Pasal XXII s/d/ XXIII tentang Hak-hak Penduduk
Pasal XXIV tentang Soal-solal Keuangan
Pasal XXV tentang Perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan terdahulu
Pasal XXVI tentang Kelonggaran dan Kekebalan PBB terhadap milik, uang, modal dan para pegawai PBB
Pasal XXVII tentang Ratifikasi
Pasal XXVIII tentang Waktu mulai berlakunya persetujuan
Pasal XXIX tentang: Naskah Resmi Persetujuan.