Mohon tunggu...
Muhammad Baydawi Nurzaman
Muhammad Baydawi Nurzaman Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Pejuang Politik

|| Gue Anak Betawi Asli || Futsal & Sepak Bola || Iman, Ilmu, & Amal ||

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Perairan Natuna, Indonesia Vs China: Antara Menjaga Kedaulatan dan Menjaga Investasi?

7 Januari 2020   17:58 Diperbarui: 7 Januari 2020   18:00 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Pada tahun 1973 sampai dengan tahun 1982 telah diadakan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut Internasional. UNCLOS 1982 tersebut menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya yakni menetapkan Perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Hasil keputusan UNCLOS 1982 sudah dihadiri dan ditandatangani oleh 119 negara.

Setelah hasil keputusan UNCLOS 1982 ditetapkan, pemerintah Indonesia meratifikasinya ke dalam undang-undang Republik Indonesia (UU RI) No. 17 Tahun 1982. Selain itu, segala hal yang berhubungan dengan ZEE Indonesia juga diatur ke dalam UU RI No. 5 Tahun 1983. Tujuan pembentukan UU tersebut adalah untuk melindungi kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari segala bentuk ancaman.

Bab II Pasal 2 UU RI No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, menjelaskan bahwa ZEE Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan UU yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar dua ratus mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Di dalam ZEE Indonesia, NKRI mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam (SDA) hayati maupun non hayati. Selanjutnya, NKRI dapat melaksanakan yurisdiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya, serta penelitian ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Berdasarkan hasil keputusan UNCLOS 1982 dan UU RI tentang ratifikasi UNCLOS 1982, sudah semakin menguatkan secara hukum mengenai kepemilikan Perairan Natuna. Dengan begitu, negara lain tidak diperbolehkan dengan bebas melewati jalur Perairan Natuna dan mengambil SDA di Perairan Natuna, kecuali sudah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah Indonesia. Apabila dilanggar, maka negara yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yang berlaku sesuai hukum internasional dan nasional.

Namun pada kenyataannya, ada saja negara yang masih melanggar hasil keputusan UNCLOS 1982. Salah satu negara yang melakukan pelanggaran adalah China. Sejak tahun 2016 hingga saat ini, sejumlah kapal penangkap ikan dan Coast Guard milik negara China sudah masuk ke Perairan Natuna dan mengambil SDA di Perairan Natuna tanpa ada izin dari pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu, pemerintah China juga selalu mengklaim kepemilikan Perairan Natuna sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan negaranya.

Padahal negara China adalah salah satu partisipan yang turut hadir dan menandatangani hasil keputusan UNCLOS 1982 di Jamaika. Di mana pemerintah China seharusnya menjalankan semua hasil keputusan yang sudah disepakati bersama, bukan melanggarnya bahkan sampai mengklaim kepemilikan.

Oleh karena itu, ketegasan sikap dari pemerintah Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan pemerintah China sangat diperlukan. Masalahnya, pelanggaran tersebut dengan modus yang serupa tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali melainkan lebih dari itu. Dan selama ini, tindakan atas sikap pemerintah Indonesia selalu berputar dengan melayangkan surat protes ke pemerintah China. Yang mana surat protes tersebut selalu ditanggapi dengan biasa saja dan cenderung mengarah pada diabaikan.

Melihat tindakan di atas, seakan-akan timbul dugaan bahwa pemerintah Indonesia itu lemah, tunduk, dan patuh terhadap pemerintah China. Dugaan tersebut bisa saja benar dan bisa saja salah. Namun perlu diketahui, sebagian besar investor di Indonesia berasal dari negara China. Apalagi saat ini, pemerintah Indonesia punya proyek besar yaitu pemindahan ibu kota baru. Pemindahan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar dan dipinjam dari negara China.

Kalau sampai dugaan di atas benar terjadi, maka ini merupakan pengkhianatan besar terhadap bangsa dan para pendiri negara Indonesia. Di mana, menjaga investasi dianggap jauh lebih penting dan berharga, dibanding menjaga kedaulatan negara demi harga diri bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun