[caption id="attachment_304473" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Perasaan emosi dan frustasi bercampur dengan pusing kepala adalah hal yang mungkin sering dialami oleh orang-orang yang berkendara di jalan-jalan kota besar di Indonesia. Macet, panas, bising, dan polusi udara adalah hal yang saat ini menjadi kewajaran, sehingga orang yang setiap hari menghadapi lalu lintas dengan kondisi tersebut maka akan menjadi terbiasa dan menganggap hal tersebut bukan menjadi masalah.
Hal ini juga terjadi pada fenomena kecelakaan lalu lintas, orang menganggap kecelakaan lalu lintas terutama di jalan raya menjadi hal yang biasa, bukan hal yang istimewa. Bandingkan jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, pesawat hanya tergelincir saja, setiap TV, koran, dan news online pasti memberitakan masalah tersebut. Dan yang pasti hal ini akan mendapat perhatian Presiden, minimal Menteri Perhubungan menginstruksikan sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, keistimewaan ini tidak berlaku untuk kecelakaan di jalan raya, yang karena kecelakaan sering terjadi bahkan setiap hari dan terjadi di mana-mana sehingga dianggap bukan masalah penting.
Menurut penelitian dari Prof. AT Mulyono dari UGM, 92% penyebab kecelakaan disebabkan oleh manusia, 5% karena kendaraan dan 3% karena infrastruktur jalan. Berarti dari sini dapat kita ambil asumsi bahwa penyebab sering terjadinya kecelakaan adalah karena pengemudinya, berarti ada yang salah dengan perilaku berkendaranya.
Jika Anda lihat pada gambar 1 di bawah ini, berapa kecepatan yang berani Anda ambil saat berkendara pada jalan dengan kondisi tikungan, tipe jalan adalah 2 lajur 2 arah tanpa median, di mana di lajur lawan terdapat kendaraan yang mendekat seperti terlihat pada kondisi tersebut.
Gambar 1. Jalan tikungan 2/2 UD
(sumber: Lie, 2003 dalam Wegman & Aarts, 2005)
Kondisi seperti gambar 1 dapat dengan mudah ditemui di Indonesia, dan perkiraan saya pengemudi di Indonesia seperti supir bis malam, berani sampai 50 km/jam atau lebih. Nah sekarang bandingkan jika Anda mengemudi dengan kondisi jalan seperti pada gambar 2 yang merupakan jalan 1 lajur 1 arah dengan kondisi geometric menikung.
Gambar 2. Jalan 1 lajur 1 arah geometric menikung
(sumber: Lie, 2003 dalam Wegman & Aarts, 2005)
Jika Anda mengemudi dengan kondisi jalan seperti gambar 2, saya yakin kecepatan kendaraan pasti kurang dari 30 km/jam. Padahal jika mau jujur, kondisi jalan untuk gambar 1 dan gambar 2 mempunyai kondisi yang sama, sama-sama berbahaya. Namun, kenapa berbeda dalam kecepatan berkendaraan? Ini hanyalah masalah perilaku, cara pandang pengemudi kendaraan dalam menjalankan kendaraannya.
Hal yang lain tentang kecepatan kendaraan, penerimaan otak manusia terhadap kondisi jalan sangat dipengaruhi oleh kecepatan si pengemudi. Jika Anda berjalan kaki, maka Anda akan tahu detail bangunan yang Anda lewati. Jika Anda bersepeda, maka Anda akan tahu paling tidak warna cat bangunan yang Anda lewati. Jika Anda berkendara dengan kecepatan 30 km/jam, paling tidak Anda akan tahu kondisi sekitar jalan yang Anda lewati. Ilustrasi dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
Gambar 3. Persepsi pengendara kecepatan 30 km/jam.
Dari gambar 3, pengemudi akan dapat mengetahui bahwa di simpang yang akan dilewati terdapat mobil yang akan berbelok dan ada pesepeda yang akan menyeberang.
Namun, jika kecepatan kendaraan meningkat, otomatis persepsi pengemudi juga akan berubah, pengemudi hanya akan fokus pada jalan yang akan dilaluinya, tidak akan memperhatikan kondisi di sisi kiri atau kanan jalan.Ilustrasi dapat dilihat pada gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4. Persepsi pengemudi kecepatan 60 km/jam
Kondisi pada gambar 3 dan gambar 4 adalah sama, hanya kecepatan kendaraan yang berbeda, dari perbandingan ini dapat diketahui, bahwa posisi kendaraan dan pesepeda di simpang yang akan dilalui tidak teridentifikasi oleh pengemudi mobil, karena pengemudi fokus pada jalan, tidak pada kondisi samping jalan, dan hal ini dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Dari gambar 1, gambar 2, gambar 3, dan gambar 4 dapat diambil asumsi bahwa kecepatan kendaraan sangat berpengaruh pada tingkat kecelakaan. Lalu bagaimana solusinya? Salah satu solusinya adalah pembatasan kecepatan kendaraan. Hal ini sangat penting karena kecepatan kendaraan sangat berpengaruh pada tingkat fatalitas korban kecelakaan.
Di daerah perkotaan akan sangat mudah ditemui pejalan kaki yang menyeberang jalan, dan karena di Indonesia kesadaran untuk menyeberang jalan pada tempatnya masih rendah, hal ini juga menambah kemungkinan terjadinya korban kecelakaan. Hasil riset di beberapa negara, bahwa pejalan kaki yang tertabrak kendaraan bermotor dengan kecepatan 60 km/jam mempunyai probabilitas sekitar 91% meninggal dunia.
Gambar 5. Grafik hubungan kecepatan kendaraan dan Probabilitas kematian
Sumber WHO, 2004
Selain pembatasan kecepatan kendaraan, terdapat beberapa cara agar kendaraan mempunyai kecepatan rendah, namun yang terpenting jika ingin mengurangi tingkat kecelakaan dan mengurangi tingkat korban meninggal dunia akibat kecelakaan, faktor kecepatan tidaklah cukup, terdapat beberapa cara yang harus dilakukan secara bersama-sama. Butuh kerja sama antarlembaga, karena pihak yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan lalu lintas adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita gerakkan program 3E, jangan hanya dijadikan simbol/slogan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H