Mohon tunggu...
Beby Alfilia
Beby Alfilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a good person

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Peristiwa Demonstrasi Iran dari Perspektif Good Governance

18 Desember 2022   18:49 Diperbarui: 18 Desember 2022   18:51 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemerintah Republik Islam Iran saat ini masih menghadapi berbagai gerakan atau aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mayoritas perempuan di negara tersebut. Mereka melakukan aksinya dengan melepas jilbab sambil meneriakan slogan-slogan yang menentang para petinggi Iran. Bahkan para demonstran juga membakar kediaman Ayatullah Khomaeni yang merupakan mantan pemimpin tertinggi Iran sekaligus pemimpin revolusi Islam Iran tahun 1979. Gerakan demonstrasi ini tercatat sudah tersebar hingga ke 23 kota yang ada di Iran, bahkan juga ke beberapa kota di luar negara Iran. Seperti beberapa kota di negara Turki, Perancis, Jerman yang merasa terpanggil untuk membela hak perempuan dan menjalin solidaritas sesama perempuan. 

Demonstrasi ini sebenarnya terjadi karena kekecewaan dan kemarahan masyarakat Iran setelah seorang perempuan bernama Mahsa Amini yang masih berusia 22 tahun dinyatakan meninggal dunia setelah ditahan oleh polisi moral karena dianggap menyalahi aturan memakai jilbab di Iran. Dikatakan bahwa kematiannya itu disebabkan oleh sikap polisi moral Iran yang diyakini melakukan kekerasan dengan memukul kepala yang akhirnya membuat Mahsa Amini pingsan, koma, lalu meninggal dunia. Sejak saat itulah, demonstrasi terhadap pemerintah Iran mulai bermunculan. 

Sebelum membahas apa saja yang menjadi penyebab demonstrasi Iran dari perspektif good governance, kita harus memahami definisi serta prinsip-prinsip good governance terlebih dahulu. Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik memiliki 8 asas dasar yang wajib dijalankan oleh suatu negara. Asas dasar yang pertama yaitu partisipasi, asas ini bermakna bahwa pemerintah suatu negara harus mengorganisir atau mengatur kebebasan berekspresi maupun berserikat para warga negaranya. Asas dasar yang kedua adalah asas berorientasi pada konsensus yang artinya seluruh keputusan yang ditetapkan harus berdasarkan pada kesepakatan seluruh warga negara. Asas dasar yang ketiga adalah akuntabilitas yang bermakna bahwa pemerintah yang menetapkan keputusan wajib bertanggung jawab terhadap seluruh pihak yang mendapat pengaruh dari keputusan tersebut. Asas dasar yang keempat adalah supremasi hukum yang artinya seluruh hukum yang dibuat harus ditegakkan dengan adil dan netral oleh para aparat hukum tanpa pandang bulu. 

Lalu asas dasar yang kelima adalah asas efektifitas dan efisiensi yang ditujukan untuk pemerintah agar menetapkan keputusan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh warganya dengan tetap memperhatikan sumber daya alam berkelanjutan. Asas dasar yang keenam adalah asas transparansi yang bermakna bahwa seluruh warga negara bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi terkait keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Asas dasar yang ketujuh adalah asas ekuitas dan inklusif yang berguna untuk memberi kesempatan bagi seluruh warga negara agar bisa memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan hidupnya dengan mengibaratkan seluruh warga negara tersebut mempunyai saham negara. Dan asas dasar yang ketujuh atau yang terakhir adalah asas responsif yang mewajibkan pemnerintah untuk melayani semua kalangan atau warga negara tanpa terkecuali. 

Berdasarkan perspektif asas-asas dasar good governance di atas, dapat dikatakan bahwa ada dua asas yang menjadi sumber utama gerakan demonstrasi yang terjadi di Iran sejak September lalu. Pemerintahan atau para petinggi Iran tidak menjalankan asas dasar partisipasi dalam kelangsungan negaranya. Mereka seolah membatasi hak-hak kebebasan berekspresi warga negaranya terutama para perempuan. Sejak kemenangan revolusi Islam Iran tahun 1979, pemerintah Iran menetapkan undang-undang wajib mengenakan jilbab bagi perempuan di Iran tanpa memandang apa agama mereka. Dan berdasarkan teori Al-Ghazali yang biasa dianut oleh negara dengan sistem teokrasi seperti Republik Islam Iran, makna jilbab yang dipakai perempuan adalah simbol untuk membatasi ruang gerak mereka sekaligus mengontrol mereka. Karena teori tersebut meyakini bahwa saat perempuan membatasi dirinya hanya untuk suaminya maka kesejahteraan sosial negara akan tercipta. Selain itu pemerintahan Iran juga mengabaikan asas dasar berorientasi konsensus. Hal itu terbukti dari tetap dijalankannya undang-undang wajib berjilbab walaupun banyak sekali pihak yang menentang kebijakan tersebut. 

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa demonstrasi besar-besaran di Iran merupakan bukti nyata dampak negatif dari tidak dijalankannya asas-asas dasar good governance dengan baik oleh pemerintah Iran. Undang-undang yang mewajibkan semua perempuan untuk berjilbab merupakan kebijakan yang sangat melanggar hak asasi manusia secara umum. Dengan itu diperlukanlah peninjauan ulang mengenai undang-undang tersebut oleh pemerintah Iran untuk menghentikan atau mengatasi demonstrasi di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun