Mohon tunggu...
Rahma Ismail
Rahma Ismail Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya perempuan yang lahir dan tumbuh kembang didataran tinggi Gayo. Suka sastra dan musik. itu saja yah. Ok berijin! Terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Basa-Basi Birokrasi Disuatu Pagi

29 Desember 2014   06:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk ketiga kalinya kumasuki bangunan yang dihuni oleh para tahanan itu pagi tadi. Sepertinya tak ada narapidana dan sipir yang memiliki badan "lebih" didalam sana. Pintuitu memiliki panjang sekitar 80 cm dan lebar 40 cm.Untuk bisa berada didalamnya, orang dewasa harus menundukkan kepala terlebih dahulu bersamaan dengan memasukkan sebelah kakinya. Eitt…tapi yang dibahas disini adalah’ pintu di pintu’. Tepatnya, pintu yang berjendelaatau sebut saja lubang persegi yang ada dipintu yang fungsinya sama dengan pintu. Dari model pintu yang ada dipintuitu, kusimpulkan bahwa tidak akan ada satu petinggi dan pengunjungpun yang berbadan gemuk bisa masuk tanpa kewalahan terlebih dahulu. Ini bagus sekali, kupikir ini adalah bentuk pengamananyang tampak yang bisa dirasakan dan dilihat oleh semua orang. Dengan tujuan dan niat yang baik, kulemparkan senyumku sambil menyapanya; Lelaki itu, sebut saja sang penjaga. Diatas meja tinggi dihadapannya, tergeletak beberapa buah buku. Mungkin buku tamu atau buku lainnya yang aku sendiri tak tahu apa isinya. Dia spontan berdiri ketika melihat kedatanganku dan seorang temanku. Perawakannya tinggi besar, wajahnya sangar khas preman. Sambutannya dingin dan beku bak beton bercat putih yang berada tepat dibelakangnya. Kuhampiri ia layaknya seorang Ibu yang ingin mengunjungi anaknya yang mendekam dibalik jeruji besi diarea belakang sana. "Ada apa, Dik?" Tanyanya. Kepalaku nyaris mendongak 90° ketika hendak menjawab pertanyaannya.Untuk sekedar mengikuti tatakrama yang baik dalam berbicara, kutataplah mata si Abang itu.Pandangannya tajam dan terkesan kurang bersahabat. Tanpa ada 'indikasi' apa-apa, bisa kutebak usia lelaki itu sekitar 30-an. Aku menjelaskannya mulai dari A sampai Z. Kubahasakan dengan kata-kata yang sederhana. Ku 'permak' suaraku sedemikian rupa (agar terdengar lebih lembut dari biasanya).Aku selalu berusaha tersenyum simetris saat berbicara dengannya (meski kedua pipiku sudah terasa letih). Intinya, aku sudah berusaha untuk menjadi tamu yang paling ramah dengan harapan urusanku lancar dan bisa segera mengurusi urusan yang lain yang masih menjadi tanggungjawabku. Aku sedikit lega ketika tujuan dan maksudku dapat dicernanya setelah kupaparkan panjang-panjang (namun sepertinya kurang lebar).Kutahu itu dari angukan kepalanya, kepalanya menganguk, namun keningnya berkerut layaknya kemeja yang rindu sentuhan setrikaan. "Intinya sosialisasi, Bang!"Kataku tegas. Ia kembali menganguk sebelum kemudian angkat bicara. "Oh… kamu ini berproffessi sebagai X, ya?"Tanyanya. Giliranku yang mengangukan kepala (aku yakin angukanku itu tampak lebih bagus karena dibarengi senyum, dibanding angukannya yang tadi tampak ragu-ragu). "Oh... Gak bisa, Dik.Proffessi x kalian itu sudah menyusahkan kami, gak bisa! gak bisa tu!" Jawabnya dengan nada skeptis tinggi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedengarannya seperti ada puluhan manusia yang berproffessi sebagai x; telah membuatnya mogok digaji berbulan-bulan. Kerut dikeningnya tampak semakin bertambah, dua ujung alisnya nyaris menyatu.Didalam bola matanya seolah terpampang gambar Rupiah. Aku tahu dan pernah dengar hal ini dari angin sepoi yang terlampau kesal pada proses nakal birokrasi yang juga terlanjur dimaklumi oleh semua orang. Segera teringat tujuh lembar uang seribuan dikantongku.Alamak! Aku sedikit geram karena responnya, namun tiba-tiba terlintas makna kata dibutuhkan dan membutuhkan. Ya! saat ini aku sedang membutuhkan, dan aku tak begitu yakin apakah aku akan dibutuhkan. Karenanya, aku harus kembali ketujuan awalku walau harus menahan kesal dan sedikit takut (jujur, aku hanya sering berurusan dengan perawat puskesmas, pegawai kantor camat atau sales kosmetik). Semangatku yang selalu berada didalam proses 'asah' ini hampir menciut, karena sambutannya yang sama sekali tidakwellcome. Antara aku dan dia dicekam hening beberapa detik.Lalu kudengar seseorang menyapaku dari arah kiri. "Mah?da pa? Oo….Kerumahnya aja, hm..... Coba dulu, bisa tuu, bisa! Bisa!" Kubalas bahasanya yang suka-suka itu dengan bahasa yang lebih suka-suka lagi. "iyaaah, daritadi kek, woy!" Dia adalah teman sekolahku semasa di SMU dulu.Ternyata dia bekerja disini, ah yess…setidaknya aku bisa sedikit menghela nafas lega setelah nyaris bersitegang dengan si Abang yang bermuka baja yang masih betah berdiri ditempatnya semula.Kebekuan diraut mukanya mencair setelah melihat akrabnya pembicaraanku dengan rekan kerjanya itu. Huh... ! Ketika basa-basi kami itu selesai, aku dan seorang temanku yang sedari tadi diam (entah karena takut atawa sedang sariawan akupun tak tahu), akhirnya pamit dan bertolak menuju kediaman seseorang yang mengepalai lembaga tempat ratusan manusia bersalah dikurung tersebut.Menemukan rumah seorang pejabat itu tidak lebih sulit dari menentukan judul puisi dengan bahasa sarkatis bagi seorang seniman yang baru putus cinta. Sebuah mobil berplat merah dan yang satunya lagi berplat hitam terparkir sejajar dihalaman depan rumahnya. Seorang pemuda gagah tampak tengah duduk diteras mengelap sepatunya, rambutnya cepak rapi dengan balutan safari abu-abu kecokelatan.Ia seorang ajudan. Dihalaman itu terlihat pula 3 orang pemuda lain dengan pekerjaannya masing-masing. Menyiram bunga, memperbaiki parabola dan mengelap mobil berwarna biru yang sebenarnya sudah tampak sangat mengkilap. "Assalamualaikum, Bisa ketemu Bapak?"Tanyaku sopan pada lelaki yang sedang mengelap sepatu. Dikotakecil ini, wajahnya itu tak asing dimataku. Ia pun mengehentikan pekerjaannya dan memperhatikan kami sejenak. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya apakah aku adalah isteri dari seorang tahanan yang akan meminta pengurangan masa tahanan untuk suamiku, atau bisa jadi ia mengira bahwa aku dan temanku adalah sales promotion girl yang akan menawarkan obat kuat. "Kebetulan ada. Ada apa ya, Mbak?" "Ada yang ingin kami bicarakan langsung kepada beliau, boleh?" "Hmm...Sebentar Mbak, silahkan duduk dulu." Sebenarnya kata 'Mbak' itu jarang sekali dipakai di Kota Dingin ini.Mbak artinya kakak (perempuan) dalam bahasa Jawa.Orang-orang sering menggunakan kata Mbak ketika menyapa seorang perempuan yang dianggap lebih tua.Dalam hatiku berspekulasi, bahwa 'adik' ini pasti sering menonton sinetron.Dia juniorku semasa SMA dan aku tahu persis dia se-suku denganku. Baiklah, barangkali (menurutnya) sapaan mbak itu lebih keren kedengarannya dari pada 'kak', seperti yang biasa digunakanoleh orang-orang disini pada umumnya. Di Tanoh Gayo ini, Jang! Sebelum ia masuk kedalam untuk memanggil majikannya, ia persilahkan kami duduk dikursi diteras rumah dinas itu. Kurasakan tumit kakiku pegal.Semakin lama, semakin terasa pula sakit-sakit yang lainnya yang sering dikeluhkan oleh para perempuan pengguna higheels setelah berjalan lebih dari 2 km. Tak...tuk...tak...tuk...tak...tuk...! Suara sepatu terdengar dari dalam rumah.Adik yang tadi muncul lagi, diikuti oleh seorang lelaki paruh baya yang berbadan tegap dan berpakaian rapi.Berbagai model lencana tertempel didada dan kedua lengan baju seragamnya. Benda-benda berwarna keemasan dan silver itu seolah lebih dulu menyapaku hai, kamu tahu kamu kamu hendak berbicara dengan siapa? Ia tersenyum kepada kami, ramah. Aku yakin, aku pasti kelihatan gugup sebelum kembali kutanya diriku untuk apa aku kesini? Ya! Aku punya tujuan dan maksud yang sudah tersusun dikepala.Baiklah, ini dia orang yang kucari dan sudah tercatat diagenda sejak kemarin lusa ketika rapat bersama teamku. "Selamat pagi, Pak!"Sapaan pertamaku. Aku dantemanku buru-buru berdiri kemudian menyalaminya. Setelahnya ia mempersilahkan kami duduk kembali. Kutekan ego karena lelahku agar mau kembali berbasa-basi dalam memulai pembicaraan.Setelah habis basa-basiku, aku pun masuk ke inti. Tap tap tap!!! Selesai. Kulihat raut wajahnya menunjukkan sikap keramahan meskipun ia tidak menatap kearahku secara langsung ketika aku berbicara. Senyumnya terus tersungging dikedua ujung bibirnya yang diatasnya ditumbuhi kumis. "Jadi... Begitulah kira-kira, Pak!"Tutupku. "Hmm...boleh! boleh! Saya sudah baca proposalnya dan...bagus itu! sangat positif. Ya Silahkan aturjadwalnya!" Diperjalanan pulang, langkah lelah kaki kami diiringi kelegaan. Keramahan, Kesabaran, kerendahan hati dan ketegasan adalah hasil perkawinan waktu dengan proses pembelajaran yang tidak akan pernah berhenti. Semua elemen itu telah menjadi teman setia bagi degub-degub jantung yang memompa keberanian disepanjang pagi ini. (Rup: April 2012, Takengon)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun