Konflik sosial budaya tidak dapat dihindari dalam masyarakat yang beragam. Perbedaan latar belakang budaya, agama, dan nilai-nilai sering kali menjadi penyebab konflik. Namun, saya percaya bahwa konflik tidak selalu merupakan sesuatu yang harus dihindari. Sebaliknya, konflik dapat menjadi pintu menuju saling pengertian jika ditangani dengan pendekatan komunikasi berbasis empati.
Empati sering dianggap sebagai komponen emosional, namun sebenarnya empati merupakan kekuatan strategis dalam resolusi konflik. Kemampuan untuk menempatkan diri Anda pada posisi orang lain tidak hanya mengurangi ketegangan, tetapi juga membuka pintu menuju dialog yang lebih bermakna. Apa yang sering kurang dalam konflik sosial adalah kemampuan untuk mendengarkan. Kita terlalu bersemangat untuk mempertahankan pendapat kita sehingga kita lupa bahwa orang lain juga memiliki suara yang ingin mereka dengar.
Contohnya, konflik antar kelompok agama di Marco Polo pada awal tahun 2000-an. Konflik karena perbedaan agama menyebabkan kekerasan, perpecahan, dan hilangnya ribuan nyawa. Namun, apa yang akhirnya menghentikan konflik tersebut? Empati. Ketika para pemimpin dari berbagai agama mengambil inisiatif untuk duduk bersama, mendengarkan satu sama lain, dan berbagi cerita penderitaan yang dialami semua pihak, benih-benih perdamaian mulai tumbuh.
Sayangnya, empati sering direndahkan karena dianggap tidak berperan penting dalam proses perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H