Pemberontakan Sipil di Myanmar
Pemberontakan sipil di Myanmar telah berlangsung sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021 dari tahun 1948 oleh pihak Militer menuduh kemenangan yang diraih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Situasi telah meningkat dari pemberontakan menjadi perang saudara yang dimaksud adalah memperebut atau memperluas wilayah kekuasaan mereka, dengan meningkatnya konflik bersenjata antara militer dan warga sipil bersenjata. Hal ini membuat warga disekitar tidak nyaman dan merasa kenyamanan mereka terganggu akan perang saudara yang terjadi.Â
Pemberontakan tersebut terjadi dengan waktu yang sangat lama karena kudeta yang terjadi di tahun 2021 ini mendapat begitu banyak sorotan dikarenakan aksi militer Myanmar yang menembaki warga sipil yang melakukan demonstrasi menolak kudeta militer padahal rakyat Myanmar mengharapkan agar kudeta dilakukan dalam situasi damai. Akan tetapi ada beberapa korban yang meninggal dunia akibat ditembak oleh militer, hal ini membuat keresahan bagi para warga sehingga pemerintah Myanmar akan bertanggung jawab terhadap korban.
Hal itu pada dasarnya melanggar ketetuan Hukum Internasional yang tercantum dalam Pasal 19 dan 20 Universal Declaration of Human Rights, Kebebasan berpendapat semakin jelas di dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Selain itu ada organisasi internasional yang ikut serta dalam pemberontakan sipil di Myanmar yang unjuk rasa dalam memperhatikan kedamaian,yaitu PBB yang menyerukan tindakan untuk melindungi warga sipil di Myanmar, termasuk melalui pemberian bantuan kemanusiaan dan penerapan sanksi yang ditargetkan terhadap junta militer.Â
Situasi di Myanmar rumit dan tidak ada solusi mudah terhadap kerusuhan sipil yang sedang berlangsung. Namun, ada langkah yang dapat diambil untuk membantu mengatasi situasi ini, seperti Hentikan pertikaian, Memberikan bantuan kepada organisasi masyarakat sipil, Memotong sumber pendanaan militer, Mendukung dialog politik, Memaksa militer keluar dari kekuasaan. Hal ini mungkin berkaitan dengan Insurgent dan belligerent yang digunakan dalam hukum internasional untuk menggambarkan kelompok yang terlibat dalam konflik bersenjata, yang mengacu pada pemberontakan yang tidak diatur dengan baik.Â
Begitupun ada perjanjian dalam pemberontakan sipil di Myanmar yaitu Perjanjian Panglong, yang dimana untuk memperkuat kedudukan untuk mencapai kesepakatan politik antara pemerintah dan kelompok etnis yang merdeka, sehingga Aung San melakukan perundingan dengan para pemimpin etnis Chin, Kachin, dan Shan.
Lalu apa status kudeta militer dalam perspektif hukum internasional yang dimana hukum internasional tidak bersikap tegas terhadap aksi kudeta karena dengan dukungan masing-masing blok barat maupun blok timur, kedua blok itu mempunyai power dan kekuasaan sehingga tidak ada pelanggaran hukum internasional yang mengatur aksi kudeta militer di Myanmar, Sehingga Piagam PBB hanya mengatur prinsip kesetaraan dimana semua negara berada dalam posisi yang sama dan tidak boleh campur tangan urusan negara lain. Maka dari itu komunitas internasional melakukan intervensi untuk kemanusiaan di Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H