Eritroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya anemia (kekurangan sel darah merah atau eritrosit) pada janin. Hal tersebut dikarenakan, ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin sehingga terjadi penggumpalan darah (aglutinasi) pada janin. Penyakit ini diakibatkan adanya inkompatibilitas (ketidakcocokan atau ketidaksesuaian) darah antara ibu dan janin yang terjadi pada sistem Rhesus. Sistem Rhesus adalah salah satu sistem penggolongan pada golongan darah manusia.
Kali ini, saya akan membahas apa yang mengakibatkan terjadinya eritroblastosis fetalis dan proses terjadinya, serta apakah eritroblastosis fetalis dapat dicegah. Namun sebelum membahas mengenai eritroblastosis fetalis lebih mendalam, saya akan menjelaskan sedikit mengenai penggolongan darah pada manusia.
Golongan darah manusia diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya zat antigen warisan pada permukaan membran sel darah merah. Golongan darah manusia diklasifikasikan menjadi 2, yaitu sistem ABO dan sistem Rhesus. Antigen (aglutinogen) adalah suatu zat yang merangsang respon imun sehingga membentuk antibodi. Antigen berupa protein/polisakarida, dinding sel, bakteri, virus, bahan kimia, dan sebagainya yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Antibodi (aglutinin) adalah protein yang disekresikan sebagai respon imun untuk menyerang antigen.
Golongan darah sistem ABO ditemukan pada tahun 1930 oleh Karl Landsteiner, ilmuwan Austria. Golongan darah sistem ABO dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya antigen (aglutinogen) tipe A dan tipe B pada permukaan eritrosit dan antibodi (aglutinin) tipe (anti-A) dan tipe (anti-B) pada plasma darah. Jenis golongan darah berdasarkan sistem ABO adalah A, B, AB, dan O. Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi (anti-B), golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi (anti-A), golongan darah AB memiliki antigen A dan B dan tidak memiliki antibodi maupun , serta golongan darah O tidak memiliki antigen A atau B dan memiliki antibodi dan .
Golongan darah sistem Rhesus ditemukan pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner dan Wiener dalam percobaan menggunakan darah kera rhesus (Macaca mullata). Golongan darah sistem Rhesus dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya antigen (aglutinogen) RhD pada permukaan sel darah merah. Antigen RhD adalah antigen yang berperan penting dalam transfusi dan bersifat imunogenik kuat.Â
Jenis golongan darah sistem Rhesus adalah Rh+ (Rhesus positif) dan Rh- (Rhesus negatif). Golongan darah Rh+ menunjukkan adanya antigen RhD sedangkan Rh- menunjukkan tidak adanya antigen RhD. Apabila darah Rh- terpapar oleh darah Rh+, maka darah Rh- akan segera membentuk antibodi RhD (anti RhD) dan akan menggumpalkan darah Rh+ yang ada akibat transfusi darah maupun kehamilan.
Rhesus tidak berpengaruh terhadap kesehatan, namun perlu diperhatikan ketika pasangan ibu-ayah memiliki jenis Rhesus yang berbeda. Saat seorang ibu dengan Rh+ mengandung bayi dengan jenis darah Rh-, maka tidak akan terjadi masalah pada ibu dan bayi. Dan bayi nantinya akan memiliki antibodi RhD karena terkena darah Rh+ dari ibu. Namun, apabila seorang ibu memiliki darah Rh- dan mengandung dari pasangan yang memiliki darah Rh+, kemungkinan bahwa bayi yang dikandung memiliki jenis darah Rh+. Perbedaan rhesus antara ibu dan janin tersebut akan mengakibatkan masalah serius pada janin.
Pada saat mengandung, sebenarnya tidak terjadi kontak langsung antara darah janin dalam kandungan dengan darah ibu. Hal tersebut dikarenakan, di dalam kandungan terdapat plasenta yang berfungsi melindungi janin dan sebagai penghalang antara sel darah merah antara janin dan ibu. Akan tetapi, tetap ada kemungkinan bahwa darah janin masih bisa melintas dan masuk ke dalam pembuluh darah ibu walaupun sudah dilindungi plasenta, terutama pada saat persalinan. Saat persalinan (maupun keguguran), plasenta akan lepas serta pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus.Â
Dan mengakibatkan sel darah merah janin dapat masuk dalam jumlah yang besar. Jika ibu dengan darah Rh- baru saja mengalami kehamilan pertama dari pasangan Rh+ dan belum pernah menerima transfusi darah Rh+, saat itu tubuh ibu akan membentuk antibodi RhD (anti RhD) secara alamiah yang berfungsi untuk melindungi dan melawan antigen RhD. Kemudian, antibodi RhD ibu akan berdifusi ke dalam tubuh janin melalui plasenta.Â
Akibatnya, darah pada janin akan mengalami penggumpalan (aglutinasi). Darah yang mengalami aglutinasi melewati pembuluh kapiler dan darah akan terjebak sehingga menyebabkan penyumbatan dan akhirnya pembuluh kapiler pecah disertai dengan pecahnya membrane eritrosit (hemolisis).Â
Pecahnya membrane eritrosit (hemolisis) dapat menyebabkan kematian pada janin di dalam rahim atau menyebabkan penyakit eritroblastosis fetalis (penyakit kuning, anemia, gagal jantung, pembengkakan hati dan limpa) ketika bayi telah lahir, terutama pada kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada kehamilan pertama, belum terjadi penyakit pada janin karena biasanya ibu belum membentuk antibodi RhD dalam jumlah yang banyak.