Banyak berjalan banyak yang dilihat… ungkapan itu terasa bermakna ketika berjalan (bisa dengan kaki, sepeda, motor, mobil atau angkutan umum) dengan meng-optimalkan semua indera, dan lebih terasa lagi jika perjalanan itu dilaksanakan dengan lalu lintas padat. Intinya, kalau ada kemauan dimanapun bisa belajar.
Pagi tadi ada kejadian yang menarik yang ingin saya ceritakan kepada kompasianer setia. Pagi itu ketika lalu lintas sudah semakin padat ada kejadian yang menarik. Ada sebuah mobil Katana warna putih yang diam di tempat disaat semua kendaraan sudah bergerak maju. Dibelakangnya ada kendaraan yang membunyikan klakson dengan nada jengkel/ marah (?).Hampir semua kendaraan sudah melaju, tapi mobil Katana putih tetap menunggu … dan akhirnya Katanapun bergerak disaat lampu trafick berwarna HIJAU.
Itulah proses evolusi trafick light. Warna merah yang berarti larangan untuk berjalan pelan tapi pasti telah berubah, bergeser menjadi hijau (jalan).
Kompasianer yang setia… cerita ini sudah lazimterjadi, khususnya dimana tidak ada petugas yang mengatur lalu lintas. Dan celakanya tingkat kesadaran masyarakat kita masih dipengaruhi oleh sosok yang namanya POLISI. Rambu-rambu yang dipasang di jalan, di tempat umum nyaris tidak berfungsi manakala tidak didukung dengan kehadiran Polisi yang mengatur. Tidak heran kalau terjadi banyak kecelakaan yang berakibat jatuhnya banyak korban luka (ringan/ berat) bahkan meninggal. Semua itu tidak lepas dari prilaku masyarakat kita yang cenderung tidak taat pada saat tidak ada Polisi sebagai petugas yang mengawasi. Masih ingat dengan filosofi "patung polisi". Konon katanya berangkat dari tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah maka dibuatlah patung polisi sebagai sebuah metode agar masyarakat bisa lebih tertib berlalu lintas. Pada awalnya program tersebut cukup manjur sebagai sebuah metode untuk menertibkan masyarakat, tapi pada akhirnya semua kembali seperti semula SEMRAWUT dan tidak tertib.
Ketertiban di jalan bukanlah persoalan yang bisa diurai dengan mudah. Banyak faktor yang berperan di dalamnya. Salah satunya adalah prilaku masyarakat kita yang cenderungsembrono dan tidak menghargai.
Prilaku tertib itu memang harus dijalankan dengan disiplin mulai dari rumah sebagai sebuah organisasi masyarakat yang paling kecil. Ya… dari rumah lah kita bisa memulai prilaku tertib itu. Coba perhatikan rumah kita masing-masing. Ada ruangan tempat makan namanya ruang makan, ada ruangan yang dipakai untuk tidur namanya kamar tidur, ada ruangan untuk memasak namanya dapur, ada ruangan untuk mandi, buang air (besar dan kecil) namananya kamar mandi dan ada ruangan untuk menerima tamu namanya ruang tamu. Semua tempat diberi nama sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Kita tidak bisa makan dilakukan di kamar tidur, apalagi kalau di kamar mandi. Kita tidak bisa mandi di dapur apalagi di kamar tidur. Semua harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Persoalannya adalah ketika anggota keluarga sudah tidak lagi mengindahkan kegunaan dan fungsi masing-masing ruang dan tidak menghormatinya sebagai sebuah aturan yang berlaku dalam sebuah keluarga maka semuanya menjadi SEMRAWUT dan berantakan. Dan jika prilaku ini dibawa di jalanan maka semua menjadi semakin tidak tertib.
Persoalan lain yang muncul adalah ketika ada masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas sehingga mereka hanya bisa menyewa satu ruangan untuk semua aktifitas (?) makan, tidur, bermain semua dilakukan di ruangan yang sama, maka ketertiban (di jalan) yang diharapkan pun akan semakin susah untuk bisa diwujudkan.
Kata kuncinya " Ketertiban itu (sangat) ditentukan oleh tingkat ekonomi masyarakat-nya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H