Dikisahkan, ada seorang Juragan yang sedang melakukan inspeksi. Dia perhatikan kesibukan para nelayan yang sedang sibuk melaut. Tatapannya terhenti ketika melihat seorang nelayan yang demikian santainya menikmati rokoknya... Dihampirinya orang itu "Hei kamu... sedang ngapain?, teman-temanmu kerja keras membanting tulang sedangkan kamu duduk bermalas-malasan, bersantai-santai... apa kamu tidak ada pekerjaan". Mulutnya nerocos bagaikan martir yang memuntahkan pelurunya. Kenapa kamu tidak bekerja seperti mereka, kemudian kamu bisa menabung sehingga masa depanmu bisa terjamin, bisa bahagia?". Kemudian orang itu bangkit seraya berkata "Tuan melihat saya sedang apa?", Sang juragan membalas dengan lebih keras lagi "Kamu kan sedang malas-malasan, bersantai-santai?". Orang itu membalas dengan lebih keras lagi "Salah...!, saya sedang menikmati rokok saya, saya sedang menikmati kebahagiaan ...". Coba tanyakan kepada orang-orang itu kenapa mereka bekerja membanting tulang? apa tujuannya...?. "Apakah saya harus menunggu, harus mengumpulkan duwit untuk bisa bahagia?. Tuan tidak lihat apa, saya sudah bahagia... saya sedang menikmati hidup saya...!". Sang juragan diam, dia tidak bisa menjawab begitu mendengar jawaban orang tadi.
Kompasianer yang setia... banyak diantara kita yang salah atau minimal belum bisa memberikan definisi apa bahagia itu?. Dan kebanyakan diantara kita pasti menjawab "DUIT" sebagai tempat bahagia atau minimal sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan. Barangkali kita harus bisa mendefiniskan bahagia secara obyektif, berdasarkan kondisi kita.
Para filosof dan kaum cerdik pandai sudah banyak membahas tentang apa bahagia itu. Ada yang mengatakan bahagia itu didapat ketika seseorang itu bisa memenuhi keinginannya. Ada yang berpendapat bahagia itu ketika kita bebas dari segala macam penderitaan (sakit dan kemelaratan). Ada yang berpendapat bahwa bahagia itu ada dalam hati yang tenang karena dekat dengan Tuhan. Dan masih banyak lagi. Namun demikian jika kita ditanya dimana letak kebahagiaan itu? Rasanya susah untuk bisa memberikan jawaban.
Ada sebuah ilustrasi sederhana. Ketika ada seorang yang kaya sedang berkeliling di sebuah desa, dia lihat seorang petani yang lagi asyik makan bekalnya. Dia perhatikan bagaimana petani tersebut yang makan dengan lahapnya, dengan tangannya yang kokoh dia masukkan suap demi suap nasinya ke mulutnya dengan nikmatnya. Alangkah bahagianya orang itu? guman orang kaya tersebut. Padahal petani itu makan hanya dengan lauk tempe dan sambal.  Bandingkan dengan dirinya yang tiap hari makan enak, di tempat yang bersih dan juga terkenal serta dilayani wanita-wanita cantik... tapi dia tidak selalu mendapatkan kepuasan, kebahagiaan.
Dari ilustrasi di atas paling tidak ada sebuah gambaran, bahwa bahagia itu terletak pada hati yang siap menerima adanya dan merasa puas dengan apa yang ada pada diri sendiri. Bisa jadi ada orang kaya dengan kekayaan yang berlimpah, namun jika kekayaannya itu tidak bisa membuat dia tenang dan nyaman maka bisa jadi dia tidadk bahagia. Sebaliknya seorang yang dengan kekayaan yang terbatas tapi dia bisa menerima dan menikmati hartanya maka bisa jadi hidupnya lebih bahagia. Bahagia tidak harus ditunda dengan menunggu mengumpulkan harta, kemudian setelah terkumpul banyak baru dinikmati. Tapi sebenarnya bahagia itu bisa dinikmati kapanpun dan dimanapun. Intinya, sekecil apapun jika kita bisa mensyukurinya insya Allah kebahagiaan akan bisa didapatkan.
Pertanyaannya apakah kita bisa menerima semua pemberianNya dan merasa cukup dengan yang ada di tangan dan menikmatinya dengan benar?. Jika jawabannya "Ya..." selamat... anda sudah mendapatkan kebahagiaan. Jika jawabannya "belum..." anda harus lebih memaksa hati untuk bisa menerima dengan hati yang lapang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H