Mohon tunggu...
Amalia Dewi
Amalia Dewi Mohon Tunggu... -

be earth cause i came from earth

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Monyet

18 Maret 2011   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Cinta Monyet

Menik benar-benar kesal pada suaminya. Kesal bukan kepalang. Lelaki yang mengawininya tiga tahun lalu itu benar-benar lelaki aneh dan menjengkelkan. Menik sampai tidak punya kata-kata lagi untuk menggambarkan watak aneh suaminya pada bapaknya. Setiap hari Minggu, Menik tidak pernah absen mengunjungi bapaknya yang sudah sepuh. Lelaki yang kini hidup seorang diri itu hanya bisa diam setiap Menik menumpahkan kekesalan hatinya. Makian dan cacian anak semata wayangnya, dibiarkannya mengudara bersama bau kandang sapi di sebelahnya. Bapak Menik memilih diam seribu bahasa dan sesekali menyeruput kopinya. Toh, cacian dan makian itu bukan untuk dirinya. Lagipula dia sudah lelah seharian mencari rumput untuk kedua sapinya. Meladeni Menik hanya membuang energi.

“Aku sudah tidak tahan hidup sama Mas Kodar, Pak ! Aku sudah tidak tahaaaaannn …!”

Menik masuk ke dalam rumah bapaknya. Mengambil segelas air putih dan menenggaknya seperti minum bandrek. Lalu dia kembali ke teras, duduk lagi di sebelah bapaknya. Nafasnya terengah-engah, menahan emosi.

“Aku mau minta cerai, Pak !”

Bapak Menik bereaksi. Sudah tiga tahun anaknya itu berumah tangga dengan Kodar, dan setiap hari Minggu dia mendengar omelan, makian dan cacian Menik pada Kodar, tapi tak pernah terpikir olehnya kalau Menik akan meminta cerai. Malah sebaliknya, dia selalu was-was Kodar akan menceraikan Menik.

Bapak Menik mendesah panjang. Mengingat-ingat masa lalu. Dulu, Kodar hampir menolak lamaran Bapak Menik. Manusiawi, menurut Bapak Menik. Kodar pemuda yang lumayan ganteng, masih 30 tahun, hanya lulus SMP, dan seorang pengamen. Menikah dengan Menik, perawan tua berusia 45 tahun dan wajahnya jauh dari cantik, tentu tidak mudah baginya. Apalagi Menik terkenal di kampungnya sebagai perawan tua yang tidak segan mengumpat dan mencaci maki siapapun, bila sedang emosi.

Tapi, Menik mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai Kodar. Menik bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan asuransi, punya sepeda motor dan punya rumah sendiri. Maka Kodar tidak perlu bersusah payah mencari makan. Asalkan dia mau menjadi suami Menik, maka dia tidak perlu ngamen lagi.

“Kalau kamu minta cerai, terus siapa yang mau kawin sama kamu ?” tanya Bapak Menik, akhirnya bersuara, “umur kamu sudah berapa ? Kalau Kodar, pasti masih banyak yang mau. “

Menik menghentakkan kakinya. Sebenarnya, percuma dia menumpahkan kekesalan pada bapaknya. Bapaknya bukan penasehat perkawinan. Apalagi Emak sudah meninggal sejak Menik masih duduk di bangku SD. Jadi untuk urusan perkawinan, bapaknya sudah tidak punya keahlian. Makanya, beliau tidak berpikir panjang saat menikahkan Kodar dengan Menik.

“Kalau kawin sama anak kecil ya begitu itu pak !” ujar Menik, masih dengan kemarahan, “semuanya aku yang mengerjakan. Padahal dia menganggur di rumah. Harusnya diakanmenggantikan tugasku di rumah. Eee… malah tidur seharian. “

Bapak Menik mesem.

“Ini semua gara-gara Viona !”

“Viona ? Monyet yang di rumahmu itu ?”

Menik mendengus. Sudah tiga bulan ini Kodar memelihara monyet. Monyet betina pemberian temannya. Kodar manamainya Viona. Sejak kehadiran Viona itu di rumahnya, Menik merasa dinomorduakan. Kodar tidak lagi memperhatikan dirinya. Seluruh hidup Kodar hanya untuk Viona. Kodar dengan telaten memandikannya, menyisir bulu-bulunya, memakaikan baju dan bedak, menyuapi pisang dan mengajaknya bercanda seharian. Bahkan Kodar tidak pernah melakukan semua hal itu padanya. Lelaki itu benar-benar jatuh cinta pada monyet itu.

“Memangnya kenapa monyet itu ?”

Menik diam. Dia merasa percuma bercerita pada bapaknya. Atau lebih tepatnya, dia merasa malu. Karena sebenarnya, Menik cemburu pada monyet itu. Kadang-kadang, bila menatap monyet itu, Menik merasa monyet itu lebih cantik dari dirinya. Kalau tidak, kenapa Kodar memilih tidur bersama monyet itu di balai-balai daripada di kasur empuk bersamanya. Menik selalu ingin mencekik Viona. Tapi Kodar tak pernah beranjak jauh dari Viona. Bahkan monyet itu selalu memeluk Kodar dengan erat sambil melirik pada Menik. Mengejek dan merasa menjadi permaisuri.

Sebagai seorang suami, seharusnya Kodar yang bergerak mencari nafkah, bukan menggantungkan diri sama istri terus. Menik iri melihat teman dan tetangganya yang bisa duduk manis mengurus rumah dan saat sore tiba, menunggu suami pulang dari kerja.
"Capekkkkkk."
Menik selalu teriak entah dalam hati ataupun dengan lidah yang bergerak hingga mengeluarkan suara keras.

"Gila? Mungkin suamiku sudah gila. Masa dia lebih memilih monyet itu dari pada istrinya sendiri. Wong edan !!"

Menik meracau sendiri.

OoO

Di satu hari saat di tempat kerja, dengan berat hati Menik menceritakan kegalauan yang dia rasakan ke salah satu temannya. Tanpa ada yang tersisa Menik ungkap semuanya. Teman Menik memberi masukan untuk menjaga perkawinannya dengan suami, bagaimanapun cari suami itu susah. Menik manggut-manggut entah mengiyakan atau malah kebingungan.

"Coba kamu dandan yang agak rapi, jangan acak-acakan gitu, trus kalau bicara sama suami itu mbok ya …. yang agak halus sedikit jangan prang preng gitu. Mentang-mentang suamimu pendiam. Lelaki juga punya perasaan tau! Sama kayak kita para wanita ini." pungkas teman Menik.

"Tapi aku sudah capek mbak menghadapi dia. Bayangkan saja, tiap kali aku di rumah bukannya ngajak ngobrol eh malah enak-enakan bermesraan sama Viona monyet jelek itu. Huhhh !!! " gerutu si Menik lagi.

Tiba-tiba telepon di meja kerja Menik berbunyi. Dengan malas Menik mengangkatnya.

“Halo ? PT. Asuransi Banyak Rejeki, dengan Menik di sini.Adayang bisa kami bantu ?”

“Ini dengan ibu Menik sendiri ?”

“Iya, betul. Dengan bapak siapa ya ?”

“Ini dari Kepolisian, Bu. Suami ibu dan monyetnya ditahan di polres. “

“Apa ?Adaapa ini ? Bapak jangan macam-macam sama suami saya ! Walau dia itu pengangguran, dia bukan penjahat ! Jangan main tangkap seenaknya Pak “

Emosi Menik bangkit seketika dan kalimat-kalimatnya meluncur dengan nada sadis. Teman kerjanya hanya geleng-geleng kepala melihat wajah Menik yang merah padam. Gimana suaminya tidak memilih Viona kalau selalu melihat wajah angker seperti itu ?

“Tenang, Bu Menik, “ sahut suara berat dari seberangsana, “ini bukan ulah Pak Kodar. Tapi monyet Pak Kodar. Tetangga Bu Menik melaporkan monyet Pak Kodar karena telah mencakar anaknya sampai berdarah. Masalahnya, monyet Pak Kodar tidak mau disel tanpa Pak Kodar. “

Menik tidak tahu harus bagaimana berekspresi kali ini.

"Edan. Bener-bener edan. Monyet sama yang punya kok gak ada bedanya. Dasar Monyet ! " Menik ngomel-ngomel dengan nada tinggi dan suara yang tambah keras.
"Saya tidak mau tahu pak, urus saja sejoli itu menurut ketentuan hukum yang berlaku" ujar Menik dengan nada ketus.
"Tapi bu, bagaimana dengan suami ibu?" tanya Polisi di seberangsana.
"Pokoknya saya tidak mau tahu pak. Percuma bapak bilang dia itu suami saya, lha wong tiap hari dia lebih memilih tidur dengan monyet itu dari pada saya" . Menik mulai curhat pada polisi.
Sementara teman kerja Menik yang mencoba menguping pembicaraan Menik dengan polisi - melalui saluran pesawat telepon yang lain - membayangkan polisi yang geleng-geleng kepala sambil senyum-senyum sendiri menerima curhat Menik.
Tapi dasar Menik masih cinta sama Kodar, dia pun pamit pada Bosnya untuk melihat Kodar di Polres. Sepanjang perjalanan, Menik membayangkan Kodar dan Viona berada dalam sel berdua. Menik merasa puas karena Viona akhirnya dipenjara, tapi dia juga gundah karena suaminya juga ikut masuk penjara.
Ternyata, si tetangga yang mengadukan Kodar, masih ada di Polres bersama anaknya. Separuh muka anaknya diperban dan bibirnya tampak bengkak dan dower. Menyedihkan. Viona benar-benar tidak beradab. Dasar Monyet.
Polisi pun akhirnya mendudukkan Kodar, Viona, Menik, dan tetangga berikut anaknya itu dan siap menulis Berita Acara.
"Sekarang saya mau tanya sama Pak Kodar". Polisi mulai buka suara.
"Anda memilih Menik istri anda, atau memilih Viona si monyet peliharaan anda ini?"
Dengan mantap Kodar menjawab menjawab "Saya pilih Viona Pak."
Semua mata terbelalak memandang ke arah Kodar.
"Tidak salah, Pak? Sudah di pikir masak-masak?' tanya polisi dengan nada serius.
"Lebih baik saya hidup dengan Viona sampai mati pak, dari pada sama Menik istri saya yang super cerewet dan sama sekali tidak menghargai saya sebagai suaminya."
Mata Menik tambah melotot, mulutnya menganga tanpa bisa berkata-kata. Sorot matanya semakin tajam memandang ke arah Viona.
Si tetangga melongo sementara anaknya semakin dower. Loh, bukankah ini kantor polisi ? Kok jadi lembaga penasehat perkawinan sih ? Si tetangga memang sering mendengar desas desus keluarga Kodar yang tidak harmonis sejak pertama kali membina rumah tangga. Sejak kehadiran si monyet Viona di antara Kodar dan Menik, para tetanga mengira, mereka berdua sedang mengadopsi anak. Maklum, Menik sudah melampaui masa subur untuk bereproduksi. Tapi si tetangga yakin, baik Kodar atau Menik adalah simbiosis campursari antara mutualisme, komensalisme, dan parasitisme. Entah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, si tetangga tidak mau tahu.
"Lha ... terus anak saya bagaimana ?" protes si tetangga.
Si anak memegangi bibirnya yang semakin tertarik oleh gravitasi bumi.
"Begini, Bu.... " kata polisi berusaha bijaksana, "kalau memang Pak Kodar memilih Viona sebagai pendamping hidupnya, maka Bu Menik tidak bisa ikut bertanggung jawab membiayai pengobatan anak ibu. "
Si tetangga kontan lemas. Mana mungkin dia berharap mendapat ganti rugi pada Kodar yang kantongnya selalu kering. Sementara, bujuk rayu Menik setahun lalu untuk ikut asuransi ditolaknya mentah-mentah. Andai saja dulu dia mengasuransikan anaknya ke perusahaan asuransi tempat Menik bekerja.
Tinggal Menik yang belum berkomentar. Tak lama, Menik pun buka suara memecah kebuntuan kasus ini.
"Kalau memang Kodar memilih Viona, saya tidak keberatan. Mas Kodar, tolong urus perceraian kita secepatnya, dan kamu nikahin Viona setelahsuratcerai itu disahkan agar tidak menimbulkan fitnah."
Semua orang saling pandang.Parapolisi yang kebetulan mendengar perkataan Menik saling tatap dengan wajah bengong.Semakin tidak paham dengan pola pikir pasangan aneh ini. Heran dan di luar akal.
"Bagaimana Pak Kodar?" tanya polisi dengan nada agak lemah.
"Saya siap bercerai, Pak. Sekarang juga" jawab Kodar mantap.
Akhirnya, si tetangga membatalkan gugatannya daripada ikut-ikutan gila. Sementara si anak cukup dibelikan es krim untuk melupakan traumanya.
OoO

Akhirnya Menik menjanda di umur yang sudah hampir setengah abad. Menik memboyong bapaknya ke rumah. Sementara Kodar pergi entah kemana dengan istri barunya yang bernama Viona yang bejenis kelamin sama-sama wanita dengan mantan istrinya. Mungkin dia ngamen lagi atau menjadi tukang monyet keliling, Menik tidak mau tahu. Yang jelas, bagi Menik lebih baik hidup sendiri daripada dimadu dengan monyet.
Paratetangga yang dulu saling gunjing, lambat laun sudah mulai lupa dengan kasus yang menimpa Menik yang bisa di bilang lucu dan unik sekaligus langka.

Kolaborasi : Fera Nuraini + Amalia Dewi ( No. 152 : Duet 'Mak Langit' )

Fera Nuraini - http://kompasiana.com/fera_nuraini

Amalia Dewi - http://kompasiana.com/be_earth

Note : UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG Kampung Fiksi sbb: Kampung Fiksi @ Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun