Mohon tunggu...
Gita Pratiwi
Gita Pratiwi Mohon Tunggu... -

bahagia dan membahagiakan.\r\nmirip pegadaian lah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan (3)

5 Mei 2011   12:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tak pernah bisa lupa bagaimana pertemuan pertama kita. Bahkan aku hampir bisa mencium aroma bau pasar yang menyengat dari tempat dudukku kini, di dalam kamar. Aku menunggumu sepuluh menit setelah kukirim pesan pendek padamu. Hari itu aku merasakan sebuah keanehan, aku ini akan menemui siapa? Bagaimana wujudmu aku tak tahu, dan kenapa aku harus rela menunggu di becekan pasar seperti ini?

‘Ini takkan berhasil,’ pikir batinku. Mantan-mantan kekasihku saja, yang setiap hari berjumpa, yang seringkali mengobrol denganku, dan hampir selalu di sampingku tak kuat dengan aslinya diriku. Dan dia, kenal di sebuah jejaring sosial, dunia maya yang serba palsu dan instan, pasti akan kaget dan muak dengan asliku.

“Kenapa harus kayak gitu?” tanyanya, “saya bisa terima kamu apa adanya. Segala kekurangan dan kelebihan kamu.”

“Kamu bisa bilang gitu karena kita belum pernah ketemu. Yang saya ketik di SMS-SMS itu kan bisa saya pikirkan dulu, sesuatu yang mungkin tidak seperti sesungguhnya.”

“Terserah, ya. Yang jelas saya suka sama kamu!”

Dia datang, menghampiri tempatku berdiri. Aku mengeratkan cadarku. Dia menatap mataku di balik topi birunya, aku menyadari satu hal, matanya unik. Mungkin kau pernah lihat, tapi aku baru kali itu melihat mata seperti itu. Cokelat warnanya, namun ada cincin mengelilinginya, sebuah lingkaran abu-abu. Tangannya menjulur, aku dengan gugup menyambutnya dengan salaman singkat.

Hujan,” ucapnya.

“Nama kamu Hujan?” aku tersenyum, tapi dia tak bisa melihat, aku bercadar kala itu. Dia mengangguk, “Tapi kamu gak basah.”

Ia tergelak, “Tapi saya dingin dan kelam. Ya kan?”

“Nggak juga,” aku menunduk.

Masih kuingat juga saat kencan pertama kita yang gagal total, kubilang demikian karena aku mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari hubungan kita. Hubunganku sebelumnya dengan beberapa lelaki selalu berakhir karena aku tak pernah bisa membedakan pacar dan sahabat lelaki. Aku selalu bicara kasar dan berlaku gila di depan umum, pacar-pacarku yang dulu menganggap aku tidak keren, maka aku selalu putuskan mereka. Kali ini, aku ingin menjadi perempuan anggun yang menjaga sikap di depan umum, aku ingin memberi kesan baik pada Hujan.

Saat dia menjemput ke rumah, aku membuka cadarku setelah menjamu dia dengan segelas teh manis. Ia meraih tanganku untuk dikecupnya, mencium pipiku dan memuji kecantikanku.

“Ini hanya daging berbalut kulit, betapa mengerikannya bukan jika kau melihat daging segar berjalan dan mata ini tanpa kelopaknya?” ujarku.

“Iya,” katanya, namun begitu ia tetap mencium bibirku, melumatnya hingga beberapa menit kita sadar. Kita harus segera pergi makan siang.

Di tempat makan favoritnya, aku berusaha keras menjaga sikap namun tetap jadi diri sendiri. Menjaga sikap namun tetap jadi diri sendiri? Bisakah aku? Bagaimana caranya makan steak menggunakan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri? Bagaimana table manner itu? Akhirnya, di atas hotplate aku bertingkah kikuk. Tangan kiri tidak aku pakai kecuali menahan steak agar tak kabur dari hotplate, tangan kanan memotong dengan pisau, sekaligus pisau itu juga yang mengantar irisan daging ke lidah.

Aku memesan espresso, karena aku belum pernah merasakannya, dan ingin kesan lebih aku memilih double espresso. Ketika pramusaji meletakkannya di depan batang hidung aku terdiam.

“Ini espresso?” tanyaku.

Hujan menyeringai, “Double espresso sayang, ayo minum dan tambahkan gula sedikit.”

“Saya pesan double tapi yang datang sebuah sloki berisi cairan hitam pekat yang tidak menarik! Wanginya pun lebih juara Kapal Api, huh! Gimana kalau saya pesan single coba.”

Hujan tertawa, “Ssst, jangan malu-maluin ah. Jangan bilang merek warung di sini.”

Aku memandangnya sinis, aku bilang juga apa, ‘ini takkan berhasil. Hubungan kita takkan berhasil!’

Aku menyeruputnya, pait tapi menyegarkan. “It’s not so bad.”

“Okay, enjoy it. Cerita tentang keluarga kamu dong, saya kan sudah.” memang dari tadi ia sibuk menjelaskan keluarganya di kampung. Dia dan keluarganya mengelola sebuah pesantren tradisional Nahdhatul Ulama, sebab itu keluarganya terpandang di kampung. Dia baru saja putus dari kekasihnya yang ketahuan hamil ‘dan saya gak ikut andil lho, Ra...’, kini dia mengajar di sebuah SMK sambil berternak ikan mujair sebagai usaha sampingan.

“Hujan.”

“Iya?”

“Saya gak suka espresso, saya pengen milkshake aja.”

“Oke, pesan lagi aja.”

Setelah cappucino float datang, aku menyedotnya sampai tinggal setengah gelas. “Kamu haus, Ra?”

“Iya, espresso menyiksa.”

Melihat Hujan mengeluarkan rokok dan menyulut api di isapannya, aku mengambil satu batang sambil melakukan hal yang sama. Hujan tak heran, tapi aku yang kembali kikuk. ‘Mungkin pulang dari sini aku kembali jomblo’ batinku.

“Saya tinggal sama nenek yang sangat pikun, dia menganggap dia tinggal sendirian di rumah. Saya sering menginap berhari-hari di tempat teman, lelaki maupun perempuan, pulang malam pun dia tak peduli. Saya kerja di salah satu jongko buku di Palasari, gajinya kecil tapi bisa baca buku sambil ngerokok kapan aja saya mau.”

“Orang tua kamu ke mana?”

“Ibu saya meninggal sedetik setelah saya lahir, hipertensi katanya. Bapak meninggal setahun yang lalu.”

Mungkin Hujan mau bertanya ‘lalu yang biayain kamu kuliah siapa Ra?’, tapi dia perhalus, “Kamu biayain kuliah sendiri dari jongko?”

“Jelas nggak lah, gaji saya tuh cuman cukup buat jajan bakso tiap hari, dan obat nenek kalau vertigonya kambuh.”

“Lalu?”

“Lalu, kamu gak tahu kalau saya,” aku memelankan suara, “pelacur yang bisa dipesan via internet?”

Hujan tersedak asap rokoknya, dan terbatuk-batuk, matanya agak berair. Aku tersenyum kembali menghisap rokokku.

“Sorry Ra.”

“Gak perlu minta maaf, saya yang salah,” mata cokelat bercincin abu-abu Hujan menatap saya tajam, “saya yang bohongin kamu.”

“Eu, maksudnya...” dia jadi salah tingkah.

“Saya cewek baik-baik kok, hanya saja suka sekali main jauh dan menginap di rumah teman. Dan saya kuliah dibiayai adik Bapak di Medan, sejak Bapak meninggal dia walinya.”

“Oh,” Hujan menunduk, “kenapa kamu gak ikut ke Medan aja? Di sana juga ada tempat kuliah bagus.”

“Nenek itu ibu dari Ibuku.”

Kencan itu dibumbui cengkrama dua insan yang mengangkat kaki di atas kursi restoran, dan membuat ruangan pengap akibat rokok yang tak henti-hentinya diisap. Hingga malam dan hujan turun, aku mengajaknya pulang, kami berdua menari di bawah hujan dan berkejaran, tak peduli akan flu yang mengancam esok paginya.

***

Usai kencan yang gagal menurut buku ‘Dasar-dasar Kepribadian dan Inner Beauty’ itu, hubungan kami membaik sama sekali. Kami hampir selalu berbagi tentang apapun dan bukan apapun lewat aplikasi mengobrol di internet dan ponsel. Berbagi mimpi, cita-cita, dan harapan dengannya membuatku merasa tenang dan senang. Dia selalu percaya padaku, meski aku sering berpergian ke luar kota, ke pelosok-pelosok untuk bakti sosial.

Aku dan teman-temanku mempunyai misi menyuplai kebutuhan buku untuk perpustakaan di kampung-kampung terpencil daerah Jawa Barat dan Banten. Kami juga menghidupkan kegiatan membaca buku, setidaknya selama dua minggu setelah kami tiba bersama buku-buku. Dia tak pernah keberatan, toh dia sibuk mengajar dan berwirausaha di kampung.

Hujan dan aku punya banyak memori mengasyikkan, dari hidupnya yang monoton, aku selalu membawanya keliling ke kehidupan warna-warniku. Aku mengenalkannya pada teman-teman anak jalananku di Kiaracondong. Awalnya ia takut dan canggung, tapi melihat mereka yang bahkan setengah sadar pun menyambutku dengan baik, Hujan tertarik.

Kami suka mengajak nenek nonton DVD bersama di rumah, nenek yang hanya diam tapi menyimak cerita di layar, terkadang sesenggukan menangis jika jalan ceritanya mengharukan. Ia pun tertawa jika kami nonton film komedi.

“Saya suka kamu Ra, kamu punya semacam alter-ego. Kamu bisa menyeramkan dengan gaya hidup bebas kamu yang ditakuti orang tua konvensional, tapi kamu punya jiwa sosial yang tinggi,” pujinya.

“Saya bilang juga apa, ini hanya topeng.”

“Beneran, anak-anak jalanan itu ngeapresiasi niat kamu banget ya buat bikin mereka pintar.”

“Hahaha, kamu tertipu sama topeng saya Jan!”

“Yah, walaupun saya agak aneh sama aktivitas diskusi kamu tentang Pluralisme.”

“Saya gak nganggep semua agama itu sama Jan, perbedaan itu memang sebuah niscaya, tapi kita gak berhak saling merendahkan atau meninggikan agama lain. Semua orang beragama pasti yakin dirinya rendah di mata Tuhan, karena hanya orang taqwa yang tinggi di hadapan-Nya.”

“Kirain kamu nganggep semua agama sama, kalo gitu kamu masuk islam aja yuk!”

Biasanya kalau sudah bicara tentang agama, aku akan mengepalkan tangan dan menggebukinya halus tapi pasti, tapi kali ini aku hanya diam. Memandangi langit kemudian menghisap kembali rokokku.

Lalu siapa di antara aku dan Hujan yang bisa melupakan saat ia menginap di rumah pada suatu malam. Nenek dan kepikunannya yang apatis tak berbuat apa-apa saat mendapati Hujan tertidur pulas di ranjangku, dan aku di sampingnya berselimut tanpa sehelai benang pun. Hal itu beberapa kali terjadi, tapi aku kian muak hingga ingin menyudahi.

“Saya belum mau ketemu kamu lagi, Jan.”

“Saya benar-benar merindukan kamu, Ra.”

“Kamu merindukan tidur dengan saya bukan?” aku menitikan air mata dan meletakkan ponsel di meja dalam keadaan mati.

Tiga bulan berlalu tanpa pertemuan, aku merindukannya tapi aku sangat muak mengingatnya. ‘Dia merindukan adegan ranjang itu, bukan kangen padaku! Dia datang bukan untuk aku, tapi untuk itu!’ batinku sambil mengoyak kotak kardus lusuh yang menyimpan semua benda kenangan bersama Hujan.

Kertas-kertas pembungkus cokelat, buku harian, berlembar-lembar foto, bungkus kado, pisau steak di restoran favoritnya, dua bungkus gula dari hotel, aibon yang dirampas Hujan dari anak jalanan Kiaracondong, dan banyak lagi benda kenangan aku jejalkan kembali ke kardus lusuh yang rusak.

Suatu siang, ia datang dengan mobil barunya. Dulu Hujan memang sering bercerita tentang keinginannya membeli mobil dari hasil usaha ikan mujairnya, tapi baru kali ini aku tahu dia sudah punya mobil. Dia membawanya ke depan jongko, majikanku yang sedang kontrol pembukuan keuangan pamit mau makan dulu di warung belakang.

Aku tak ingin menatap matanya yang aneh itu. Aneh kublilang, karena dia sama sekali tidak menarik lagi!

“Ra, marry me.”

Akhirnya aku menatap lekat mata itu, yang abu-abunya seakan mengikat aku dalam sebuah ketiadaan. “Apa?”

“Aku mau nikah sama kamu, Ra.”

Kurasakan jantungku berdegup kencang, namun tibalah saatnya, hari ini datang. Hari itu juga aku hubungi Tulang di Medan sebagai wali, syukurlah dia sangat setuju. “Daripada kau tidak becus kuliah karena sibuk mondar-mandir di kegiatan sosial, mending kau nikah sajalah!” katanya.

“Tapi Tulang, dia beda agama dengan kita,” ucapku masih dengan jantung berdebar kencang.

“Tak apalah, tante Rita kan juga muslim. Jeffry yang baru menikah kemarin, kau tahu? Istrinya itu orang buddha.”

Aku mengakhiri panggilan, syukurlah keluargaku begitu warna-warni dan menerima perbedaan dengan legowo. Siang itu, aku sedang makan lontong kari dengan Hujan, Hujan ke toilet saat aku menelepon Tulang.

Saat Hujan kembali, aku bertanya, “Hujan kapan keluarga kamu datang ke rumah? Tulang sekeluarga mau datang membicarakan tanggal yang tepat.”

Aku tersenyum lebar, tapi dia tiba-tiba memasang wajah muram. “Itu terlalu cepat, Ra. Saya belum dapat ijin dari orang tua sebelum kamu jadi muslimah.”

Petir pun menggelegar di sepiring lontong kari dalam genggaman, ada gerimis di pipiku. Tiba-tiba aku ingin membunuh Hujan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun