Mohon tunggu...
Be. Setiawan
Be. Setiawan Mohon Tunggu... -

Membaca, mengamati, mempelajari serta membahas bareng-bareng alam semesta dan prilaku manusia. Mendambakan bangsa Indonesia yang kaya, cerdas dan berilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhineka Tunggal Ika Semakin Kita Bikin Kurus

6 September 2010   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tujuh belas Agustus baru saja lewat tanpa peringatan yang meriah karena kebetulan terjadi di bulan puasa. Menurut itungan saya paling sedikit dua kali tujuh belas agustus ke depan akan terjadi pada bulan puasa sehingga dalam tiga tahun ini tujuh belasan akan sepi seperti tahun ini. Tak ada lomba kelereng, kerupuk, tarik tambang atau panjat pinang. Tiga tahun tujuh belasan akan sepi. Rasa sepi di hari kemerdekaan itu mengingatkan saya pada "Bhineka Tunggal Ika" yang tertulis gagah di Garuda Panca Sila lambang negara yang seharusnya menjadi kebanggaan kita.

Arti Bhineka Tunggal Ika saya tahu sejak sekolah dasar. Bhineka artinya berbeda-beda atau beragam sementara Tunggal ika itu berarti menjadi satu. Kata bhineka dan kata Ika tidak pernah kita gunakan sehari-hari. Para pendiri negara ini menempatkan Bhineka Tunggal Ika sebagai cita-cita negara yang mereka impikan sebagai ciri Indonesia yang memang beragam. Namun saat ini seolah dia hanya menggantung di tembok, jarang sekali kita lirik apalagi untuk mengingat maknanya.

Bahwa kita itu beragam hampir pasti kita semua sepakat. Beragam itu alami, beda orang tua, beda suku bangsa, beda agama, beda keyakinan. Bahkan dalam agama yang samapun ada beda sekte, ada beda mashab ada beda ormas. Jadi beragam atau berbeda-beda itu alamiah. Tanpa direkayasapun akan terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya menjadikan yang beragam itu mempunyai cita-cita dan rasa yang menyatu diperlukan usaha. Pada masa sebelum kemerdekaan, kondisi kita sebagai orang-orang yang dijajah oleh bangsa lain yang lebih superior mengikat berbagai suku bangsa, berbagai penganut agama dan penganut ideologi kedalam cita-cita bersama untuk menjadi bangsa yang merdeka dan menumbuhkan "rasa" sebagai satu bangsa yang berbahasa satu bahasa Indonesia, Berbangsa satu bangsa Indonesia dan bertanah air satu tanah air Indonessia. Namun itu sudah 65 tahun lewat. Mereka yang berjauang untuk kemerdekaan itu saat ini hampir semua sudah meninggal.

Kondisi yang menguntungkan yaitu dijajah oleh Belanda dan berikutnya oleh Jepang sudah lewat dan dilupakan oleh bangsa Indonesia yang hidup saat ini. Harus ada usaha lain untuk mengikat keberagaman itu namun yang terjadi adalah kita lebih terdorong oleh insting untuk berbeda. Contoh sederhana, para orang tua yang termasuk kedalam kelompok dengan ekonomi mapan akan memasukan anaknya ke sekoloh elite Tarakanita atau Al Azhar. Kapan mereka merasakan sebagai bangsa yang satu apabila anak sekolah di SD, SMP dan SMA di Tarakanita sementara yang lainnya di Al Azhar, begitu lulus SMA mereka masuk Trisakti atau yang lainnya masuk Universitas negeri atau sekolah di universitas di luar negeri. Pada kelompok lain sekolah di madrasah tsanawiyah setelah lulus masuk IAIN.

Coba kita lihat di sekitar kita bagaimana usaha para orang tua untuk membentuk anaknya agar taat kepada agama yang dianut orang tuanya atau mengikuti dengan taat budaya sukunya hal itu sebenarnya tidak ada masalah kalau dorongan untuk berbeda itu disatukan pada satu "rasa" berbangsa yang sama. Sepertinya kita tidak berdaya terhadap sifat alamiah untuk berbeda.

Tanpa rasa "tunggal Ika" para Boss yang sebagian besar berasal dari orang tua yang bisa menyekolahkan anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan para pekerja yang berasal dari orang tua dengan kelas kemampuan yang berbeda akan selalu bentrok dalam bentuk perselisihan perusahaan karena cara pandang dan cita-cita yang berbeda.

Usaha untuk menjadikan berbeda itu tidak diikuti dengan usaha lain yang mendorong terjadinya tunggal ika. Saya tidak tahu seberapa tinggi sekolah saat ini membangun "rasa" satu bangsa. Sementara orangtua mendorong anaknya untuk merasa berbeda. Kalau saya baca koran, saya baca kompasiana saya berinteraksi di tempat kerja, menurut perasaan dan pengalaman saya usaha untuk menjadikan "Tunggal Ika" itu tidak terasakan. Moga-moga tulisan ini menginspirasi mahasiswa sospol untuk meneliti seberapa jauh usaha negara ini berusaha menjadikan Bhineka Tunggal IKa sementara warganegaranya lebih terdorong instingnya untuk berhenti pada kata Bhineka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun