Inilah sebuah kisah indah persahabatan. Kisah saat masih SMA dan kuliah di era 80an.
Masa SMA dan kuliah adalah masa yang indah dalam hidupku. Hidup di masa orde baru, yang katanya serba represif. Tapi, sebenarnya pada masa itu soal keamanan dan kerukunan jauh lebih baik. Jarang sekali mendengar berita berita kerusuhan. Apakah memang tidak ada kerusuhan, atau informasinya yang ditutupi. Tapi, paling tidak, aku merasakannya nyaman dan aman. Mau ke mana mana aman.
Aku beruntung, bersekolah di salah satu SMA Negeri di Sumatera. Pada waktu itu, untuk masuk ke sekolah ini cukup ditentukan dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) pada waktu SMP.
Siswa sekolahku sangat bervariasi, baik dari suku dan agamanya. Memang mayoritas siswanya adalah muslim. Tapi, ada juga yang Katholik, Protestan dan Budha. Teman sekelasku sendiri ada 1 orang yang Protestan, dan ada 1 orang yang Katholik, serta 2 orang sahabat keturunan Cina yang beragama Budha.
Pada saat pelajaran agama, mereka yang non muslim diberikan hak untuk tidak mengikuti pelajaran agama Islam. Karena nilai rapor mereka untuk pelajaran agamanya diberikan oleh para pastor, pendeta atau biksu mereka masing masing. Tapi, walaupun demikian, ada beberapa diantara mereka tetap mengikuti pelajaran agama Islam, karena daripada di luar kelas, enakan di dalam kelas.
Suasana belajarnya nyaman nyaman saja. Kerukunan agama kami sangat baik. Bahkan pada setiap hari Minggu, kami ada kebiasaan pergi ke kebun bersama sama. Kami akan menunggu si Ucok (nama aslinya disamarkan saja, karena dia sudah jadi orang hebat juga, karena dia sekarang menjadi pimpinan cabang sebuah bank swasta nasional di salah satu kabupaten di Sumatera ini).
Si Ucok adalah andalan kami kalau bermain bola.Dia adalah back yang paling tangguh. Kalau bola sudah menuju gawang kami, betis besar si Ucok akan menyapunya dengan keras.
Pada saat lebaran, dia pasti berkunjung ke rumah kami yang muslim. Mengucapkan selamat hari raya. Dan yang pasti makan ketupat. Karena dia termasuk kuat makan juga, dan pemakan “segala”.
Pada saat natal, kami juga biasa berkunjung ke rumah dia. Dan menunggu dia keluar dari kebaktian. Dan karena persahabatan dengan si Ucok, kami pernah merasakan juga bagaimana rasanya “tuak”. Karena adat dia memang kadang-kadang menyediakan minuman seperti itu saat hari hari besar. (sebenarnya nggak boleh ya, anak SMA minum tuak. Tapi nggak sampai mabok kok……).
Persahabatan kami berlanjut hingga kuliah. Karena kami sama sama berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kami berdua menyewa kontrakan bersama, biar lebih murah.
Si Ucok termasuk ahli kalo masak. Pintar dia soal masak. Tapi, wajar aja dia rajin masak. Karena dia kalo makan paling banyak.
Yang paling kukenang sampai sekarang, kami tak pernah mendebatkan soal agama. Dan uniknya, kalo sudah sampai waktu magrib. Maka biasanya dia kadang teriak : “hei shalat…. Sudah magrib, kamu kan Islam, kalo saya nunggu hari minggu sembahyangnya”, kata si Ucok sambil melemparkan sajadah.
Kenangan lain dari si Ucok ini adalah dia guru gitarku. Tapi karena memang nggak bakat bermain musik. Selama 3 bulan belajar, cuma bisa memainkan lagunya Panbers, Cinta Abadi. Padahal kord lagu ini cuma 3.
Kami terakhir kali bertemu setahun yang lalu, saat ayahnya meninggal. Dia pulang, dan kami sempat bertemu.
Makanya, aku heran, sekarang orang banyak rusuh gara gara agama.
Ada yang ekstrim, melarang memberikan ucapan “Selamat Natal”, tapi aku biasa biasa saja. Karena silakan teman dengan keyakinannya, dan buktinya sampai sekarang aku tetap bertahan dengan”tauhid”.
--------------- Salam untuk sahabatku -------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H